Pendahuluan Oligarki
Setuju dengan
pendekatan oligarki, peneliti sendiri memahami konteks Indonesia pasca
runtuhnya rezim otoritarianisme Soeharto tidak secara otomatis mengarah pada demokrasi
yang lebih terkonsolidasi. Justru kenyataan yang timbul hari ini lebih
menampilkan sebuah konfigurasi kekuasaan dengan mana tersisihnya gerbong
kekuatan reformis yang di saat bersamaan memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada pemain lama dalam penguasaan arena politik dan ekonomi di Indonesia. Hal
ini tampak nyata terjadi di Kota Batu, salah satu kota yang kini mengalami
geliat pembangunan paling deras di wilayah Jawa Timur. Alhasil , situasi ini
persis seperti yang digambarkan oleh Fukuoka (2013) sebagai cerminan rezim
demokrasi oligarki. Sebuah tatanan politik yang didominasi oleh berbagai
kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang masih memiliki garis silsilah dengan
rezim Orba. Akhirnya, yang tampak adalah praktik demokrasi yang berlangsung
anomali, sebab hampir semua institusi demokrasi mengalami disfungsi.
Meski dikatakan
lumayan terbuka, iklim demokrasi di era reformasi masih menempatkan posisi
elite politik lama yang memiliki garis silsilah dengan rezim Orba yang
mendominasi arena kontestasi politik dan lapangan ekonomi. Apa yang kini
digembar- gemborkan dengan meluasnya partisipasi politik, sebab implikasi dari
dikeluarkannya UU otonomi daerah bersamaan dengan terbukanya keran
demokratisasi lokal dengan segala turunan desentralisasi ataupun yang lainnya
terbukti belum mampu mendorong suasana demokrasi yang memberikan kesempatan luas
kepada seluruh warga lokal, terutama dalam konteks perbaikan regulasi,
pelayanan sosial dan kebijakan daerah. Hal ini disebabkan masih kuatnya
cengkeraman elie dominan yang berhasil mengooptasi lembaga-pembaga demokrasi di
aras lokal.
Sebagaimana
disinggung di awal, bahwa perumusan kebijakan ditentukan oleh format
politik/pemerintahan apa yang diadopsi negara. Secara garis besar, format
kebijakan di Indonesia dapat dibedakan dalam dua tipe. Pertama, model sentralistik; kedua,
model desentralistik
(Sirajuddin, et al., 2015). Format
kebijakan yang pertama berlaku sebelum reformasi, sedangkan yang kedua
diberlakukan pasca-reformasi. Perubahan desain kebijakan dari sentralistik
menjadi desentralistik tidak terlepas dari tuntutan kelompok reformis yang
menginginkan dilaksanakannya mandat desentralisasi kekuasaan. Tuntutan ini
akhirnya diterima semenjak masa transisi kekuasaan dari Soeharo ke tangan Habibie dan baru berjalan
maksimal di era kepemimpinan Gus Dur dan, teruama pada masa Megawati Soekarno Putri.
Keluarnya UU
No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menandakan sebuah babak baru bagi
sejarah peerintahan di Indonesia pasca-reformasi. UU tersebut menjadi dasar
legitimasi bagi diselenggarakannya semangat otonomi daerah dan desentralisasi
kekuasaan. Berkat regulasi tersebut, banyak daerah mengalami proses pemekaran
salah satunya Kota Batu yang semula menjadi bagian dari wilayah kabupaten
Malang.
Comments
Post a Comment