Pendahuluan Bab 2
Berkaca pada
krisis pembangunan tersebut, muncul dugaan bahwa di balik agenda perumusan
kebijakan di Kota Batu terdapat hubungan perselingkuhan antara elite penguasa
dan pengusaha di Kota Batu. Indikasi adanya kemungkinan itu diperkuat oleh
beberapa bukti yang telah disebutkan di awal. Bahwa hampir seluruh perencanaan
kebijakan daerah ditunggangi oleh kepentingan para pebisnis. Salah satu
pebisnis terbesar di Kota Batu yang hingga kini memiliki sejumlah unit usaha
pariwisata Kota Batu, Paul Sastro, diduga memiliki relasi kuat dengan ER
sebagai penguasa Kota Batu. Persekutuan bisnis politik ini daat dilacak melalui
kebijakan peringanan pajak yang diterima secara eksklusif di bawah kekuasaan
ER, serta berbagai kebijakan pemudahan izin pendirian unit bisnis pariwsata lainnya seperti pembangunan Jatim Park (I
& II), BNS, Predator Fun Park dan terkahir JP III.
Hadirnya
kerajaan bisnis Sastro di Kota Batu tentu tidak akan berjalan sukses, jika
tidak didukung oleh kebijakan pemerintah Kota Batu. Sebab, terdapat beberapa
persoalan seputar izin pendirian bangunan di balik pembangunan wisata yang
dimiliki oleh Sastro. Namun, hal itu seolah berjalan mulus tiada hambatan.
Salah satu kasusnya adalah penggunaan lahan warga di kelurahan Tlekung untuk
bangunan wisata Predator Fun Park yang dinilai bermasalah (MCW, 2016). Pasalnya, izin
pendirian bangunan dari pembangunan wisata ini sempat tidak terpenuhi sehingga
memunculkan persoalan. Belakangan pembebasan lahan warga di desa Beji untuk
pembangunan Jatim Park 3 (Dino Park)
juga menuai polemik. Pasalnya, warga menuduh pihak pengembang wisata menyerobot
lahan warga tanpa perundingan. Terdapat tanah kas Desa Beji seluas 4.250 meter
persegi yang digunakan untuk lahan parker Jatim Park 3 tanpa melalui perjanjian
sewa terlebih dahulu dengan warga setempat. Hal inilah yang membuat masyarakat
Desa Beji geram dan melayangkan protes terhadap pengelola JTP 3
(https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3836145/jatim-park-3-kota-batu-dituding-
serobot-tanah-desa, Diakses 22 Mei 2018).
Dalam kasus berbeda,
masyarakat Batu juga sempat memprotes pembangunan di sekitar sumber mata air
Gemulo yang berlokasi di Desa Bulukerto, Kota Batu. Pada Maret 2018 lalu,
terdapat sejumlah massa yang tergabung dalam aliansi gerakan protes pembangunan
di Kota Batu ini dapat dibilang lumayan riuh. Mereka mendatangi balaikota Batu
dalam rangka menyuarakan tuntutan atas dampak buruk pembangunan di Kota Batu.
Semula masyarakat meminta Pemkot kembali meninjau pembangunan di areal sumber mata air
Gemulo yang menyediakan kebutuhan air bersih bagi 7 desa di sekitarnya beserta keperluan irigasi
pertanian warga. Pembangunan hotel yang semula dibangun di samping mata air tersebut menurut mereka
telah melanggar Perda No 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah
pasal 24 (c) dan pasal 38 (b) yang menyebutkan area sumber mata air Gemulo
sebagai kawasan lindung (http://www.mongabay.co.id/2013/03/
19/tolak-pendirian-hotel-baru-warga-kota-batu-terancam-masuk-bui/, Diakses 22 Mei 2018).
Meskipun
sekilas berbagai protes warga yang tergabung dalam aliansi gerakan civil society di Kota Batu dapat
dibilang cukup aktif, namun kekuatan mereka tidak terlalu diharapkan. Selain
jumlah mereka yang terbatas, pengaruhnya pun tidak sekuat yang dibayangkan. Hal
ini diperparah dengan kondisi tercerai-berainya kekuatan civil society di Kota Batu yang ditandai dengan ketidakmampuan
mereka bersatu dalam satu aliansi gerakan membuat penguasa Kota Batu mudah
menghentikan gerakan mereka. Sementara sebagian lainya berhasil dijinakkan oleh
kekuatan oligarki di Kota Batu, sebut saja Pemuda Pancasila, Yayasan Ujung
Aspal, Gusdurian, PC NU Kota Batu dan beberapa yang lainnya. dari sekian banyak
anasir kekuatan civil society yang
ada, tidak hanya beragam, tetapi juga berbeda orientasi.
Barangkali tak
luput disentil ialah modal sosial (social
capital) yang tumbuh di Kota Batu dapat dibilang sangat kuat. Ini
dipengaruhi oleh lingkungan sosial masyarakat Kota Batu yang mash kental dengan
suasana kekerabatan dan basis warga agraris sebagai penopang nilai. Penelitian
yang dilakukan Sasmito (2017) di Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo turut
memperkuat bukti ini. Namun, yang patut diperhatikan adalah kemampuan modal
sosial dalam menopang pembangunan Kota Batu yang tengah mengalami penggerusan
baik secara fisik maupun kearifan lokal. Hal yang terkahir inilah yang
belakangan banyak menuai protes dari warga Batu, khususnya di daerah Bulukerto,
Kota Batu.
Pasca
berakhirnya kekuasaan Eddy Rumpoko (ER) dan kini digantikan sang istri, Dewanti
Rumpoko (DR), untuk masa bakti 2017-2022, kembali membuka pertanyaan baru,
apakah ke depan Batu akan menjadi
lebih baik atau sebaliknya, sepertinya tidak terlalu memberi banyak harapan.
Bahkan, semula saat pencalonan DR sebagai walikota Batu banyak pihak merasa
pesimistik. Beberaa pihak mengatakan tampilnya DR sebagai sosok pengganti ER
adalah bagian dari kelanjutan dinasti politik. Salah satu kandidat yang menjadi
rival politik DR pada Pilwako Batu 2017 lalu, HA Rudi, bahkan mengklaim dirinya sebagai penantang
dinasti politik di Kota Batu,
meskipun dirinya gagal memenangkan suara konstituen
(https://news.detik.com/jawatimur/3423318/cawali-rudi-
sebut-warga-kota-batu-ingin-setop-politik-dinasti, Diakses 20 Mei 2018).
Bukti adanya
pertahanan dinasti politik di Kota Batu itu sendiri membuat Priyo Bogank
Sudibyo salah seorang Ketua Majelis Pimpinan Cabang/MPC, Pemuda Pancasila
Kabupaten Malang, meyatakan rekomendasi PDIP-P ke DR menunjukka kuatnya
pengaruh ER sebagai walikota Batu (https://nusantara.news/pilkada-kota-batu-2017-dinasti-politik-
bajak-demokrasi-1, Diakses 19 Mei 2018). Pernyataan B. Sudibyo menunjukkan
bahwa lingkar dinasti kekuasaan ER di Kota Batu benar-benar kuat, sebab tidak
hanya berhasil memengaruhi simpati publik Kota Batu, tetapi juga berhasil
memengaruhi elite-elite kekuasaan di tubuh Partai PDI-P yang turut membesarkan
namanya.
Terkait naiknya
Dewanti Rumpoko sebagai Walikota Batu ini menurut Almas Sjafrina, Peneliti
Devisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch, adalah bagian dari rantai
politik dinasti di Indonesia. Ia juga menyatakan bahwa pilkada serentak 2017
bisa dijadikan momentum untuk memangkas budaya pemerintahan turun-temurun yang
dianggap sarat korupsi (https://nasional.kompas.com/read/2017/01/13/16204461/masya-
rakat.diharap.dapat.memutus.dinasti.politik.mulai.pilkada.2017, Diakses 19 Mei
2018).
Meski
demikian, Dewanti membantah jika dirinya dituding sebagai bagian dari
melanjutkan dinasti politik di Kota Batu. Sebagaimana ia katakan, “Dimana pun
selalu dianggap dinasti, sekarang di Amerika, Hillary itu juga dinasti,
walaupun sebenarnya ada jeda waktu. Kalau seseorang punya potensi, punya
kualitas yang memang mempuni dan masyarakat menghendaki kenapa tidak? (https://www.viva.co.id/berita/nasional/839433-
dituding-dinasti-istri-wali-kota-batu-tunjuk-pilpres-as, Diakses 19 Mei 2018).
Menyaksikan
kondisi pembangunan di Kota Batu dalam kaitannya dengan pengaruh dominan kekuatan oligarki tidak lantas
membuat kita percaya begitu saja bahwa Batu ke depan di bawah kepemimpinan DR
akan lebih baik. Seperti yang telah terlihat kini, bahwa kuatnya cengkeraman
oligarki yang melibatkan dinasti kekuasaan ER bersama berbagai relasi kekuatan
pendukungnya telah membawa Kota Batu ke arah pembangunan yang lebih melayani
kepentingan pemodal dan lingkar kepentingan oligark. Alhasil, kondisi ini turut
melahirkan situasi paradoksal semangat desentralisasi yang pada satu sisi
hendak memperkuat peran serta warga lokal dalam membuat berbagai kebijakan
daerah, namun pada sisi lain justru semakin meneguhkan posisi elite dominan
yang berasal dari elite politico-birokrat dan pengusaha Kota Batu dalam
pengambilan keputusan. Di saat yang bersamaan, lemahnya gerakan civil society di Kota Batu akan semakin
memperluas cakar kekuasaan oligarki dalam menyerobot sumberdaya yang ada.
Setidaknya
struktur kekuasaan oligarki di Kota Batu yang kini tengah mengakar kuat, dalam
beberapa waktu akan datang, selama tidak ada kekuatan pendobrak yang mampu
menggeser posisi mereka, dipastikan Batu akan berada dalam situasi politik yang
hanya menguntungkan kepentingan kelompok oligark. Adalah sebuah konsekuensi tak
terelakkan bahwa dalam kondisi demokrasi oligarki seperti yang disinyalir Yuki
Fukuoka (2013), akses terhadap sumberdaya publik berikut mekanisme pengambilan
keputusan politik yang dalam hal ini berkaitan dengan partisipasi warga dalam
membuat dan menyusun kebijakan daerah akan terus tersisih dari kekuatan
kelompok dominan. Kekuatan kelompok dominan ini kini di Kota Batu
direpresentasikan oleh dinasti kekuasaan Eddy Rumpoko bersama para pendukungnya
yang terdiri dari kelas pemodal dan aliansi masyarakat sipil sebagai klien
politik mereka. Dengan demikian, pertanyaan kita tentang nasib Kota Batu ialah
seberapa jauh kekuasaan oligarki ini beroperasi dalam struktur kekuasaan yang
memungkinkan mereka terus bertahan.
Comments
Post a Comment