Pendahuluan OLIGARKI KOTA BATU BAB 1
Kota Batu
dimekarkan berdasarkan UU No 11 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Batu, di
bawah presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sebelumnya, Batu merupakan wilayah
kabupaten Malang, kemudian statusnya dinaikkan menjadi kota administratif pada
6 Maret 1993. Pada tanggal 17 Oktober 2001, Kota Batu akhirnya ditetapkan
sebagai kota otonom yang terpisah dari kabupaten Malang.
Berdasarkan
sejarah pemerintahannya, Kota Batu baru memulai pemilihan kepala daerah secara
langsung (Pilkada) pada tahun 2007, yang semula dipilih oleh DPRD. Sebelumnya
Kota Batu dipimpin oleh Drs. Chusnul Arifien Damuri sejak ditetapkan sebagai
Kota Administrasi Batu. Pasca-pemekaran Walikota Batu dijabat oleh Drs. Imam
Kabul pada 22 Oktober 2002. Beliau dilantik langsung oleh Gubernur Jawa Timur
atas nama Menteri Otonomi Daerah.
Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung (dipilih warga Batu) baru terlaksana pada tahun 2007,
untuk masa bakti 2007-2012. Hasil pemilihan tersebut dimenangkan oleh Eddy
Rumpoko bersama pasangannya, Budiono. Pemilihan berikutnya untuk periode
2012-2017, Eddy Rumpok kembali mencalonkan dirinya sebagai Walikota Batu
menggandeng Punjul Santoso sebagai Wakil Walikota. Mereka pun memenangkan
kontestasi Pilkada tersebut dan kembali dilantik sebagai pasangan
walikota-wakil walikota. Pilkada Kota Batu terkahir dihelat pada 15 Februari
2017. Pasangan yang memenangkan perhelatan akbar demokrasi lokal Kota Batu ini
adalah Dewanti Rumpoko berpasangan dengan Punjul Santoso. Keduanya dilantik
sebagai Walikota-Wawalikota (2017-2022) pada Rabu, 27 Desember 2017, di gedung
negara Grahadi, Surabaya, di bawah pimpinan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo.
Semenjak terjadi
perubahan sistem kekuasaan pascareformasi banyak daerah serentak mengalami
pemekaran besar-besaran bagai cendawan di musim
hujan. Kota Batu sendiri sebagai salah satu wilayah pemekaran melakukan banyak
penataan kelembagaan dan pembangunan daerahnya. Tercatat ketika melepaskan diri
dari daerah induknya, Kota Batu mencanangkan visi pembangunan yang lebih
berorientasi pada kota wisata internasional. Pencanangan kota agrowisata
sebagai ikon pembangunan daerah ini dimulai sejak masa kepemimpinan Eddy Rumpoko.
Tak lama
berselang, Kota Batu yang dahulu diselimuti lahan hijau pertanian perlahan
tergantikan oleh berbagai bangunan beton: villa, hotel, perumahan elite, dan
pusat bisnis lainnya. Hanya dalam waktu 5 tahun, perubahan dramatis itu nampak
terjadi di Kota Batu. Perkembangan bisnis kian melejit di Kota Batu setelah
Eddy Rumpoko kembali memenangkan perhelatan Pilkada di tahun 2012. Rentang
waktu 2012-2017 adalah masa dimana
Kota Batu berada dalam geliat pertumbuhan bisnis dan pembangunan yang
mencengangkan. Banyak infrastruktur dikembangkan guna memfasilitasi kelancaran
bisnis yang ada.
Perubahan
signifikan ini berlangsung berkat dukungan regulasi baru yang dicanangkan
pemerintah dalam rangka mewujudkan mandat reformasi. Sebagaimana diketahui
bahwa tuntutan reformasi dapat dikemas dalam 6 poin, dimana salah satunya
termasuk pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Sebagai bentuk komitmen
pemerintah dalam mewujudkan semangat tatakelola pemerintahan baru pasca-Orba,
tuntutan tersebut kemudian dilegitimasi melalui penerbitan UU No 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah serta UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bertolak dari
kedua produk regulasi, kepala daerah mendapatkan keleluasaan dalam mengelola
daerahnya yang mencakup pengelolaan anggaran dan sumber daya daerah secara
mandiri dan independen. Dasar legitimasi inilah yang kelak membuat kebanyakan kepala daerah menyalahkan kekuasaan,
mulai dari praktik suap, korupsi APBD, persekongkolan dengan para pebisnis baik
lokal maupun pusat dan berbagai malpraktik administrasi lainnya. Belakangan
dengan tertangkapnya Eddy Rumpoko oleh KPK atas
dugaan suap dengan pengusaha (Filipus Djap) di rumah dinasnya, Jl.Panglima
Sudirman No 98 kota Batu (Kompas, 17/9/2017),
semakin memperkuat bukti penyalahgunaan kewenangan tersebut.
Pasca
penangkapan tersebut, warga Batu mulai menyadari bahwa kebijakan yang dibuat
oleh kepala daerah selama ini ternyata menyisakan banyak persoalan. Jauh sebelum
operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Malang
Corruption Watch (MCW) (2016, 2017) sebagai
salah satu lembaga pemantau publik pernah membeberkan banyak kejadian
penyimpangan kekuasaan (abuse of power)
yang melibatkan Eddy Rumpoko dan beberapa pejabat daerah lainnya terkait kasus
suap dan tindak korupsi. Namun, hal itu tidak pernah direspons dengan serius
oleh lembaga penegak hukum. Sampai pada peristiwa penangkapan, barulah
masyarakat terbuka mata dan menyadari kebobrokan yang terjadi selama ini.
Diduga bahwa
Eddy Rumpoko (ER) memiliki jaringan bisnis-politik yang kuat dengan para
pengusaha baik di lokal maupun pusat. Selain itu, ER juga dikenal mempunyai
relasi khusus dengan para elite lokal lainnya, baik dari instansi pemerintahan
maupun jaringan organisasi masyarakat sipil. Kepemilikan modalitas
sosial-politik itulah yang memungkinkan ER bertahan selama dua periode
kepemimpinan (2007-2012/2012-2017) serta terhindar dari jeratan hukum atas
tindak kejahatan yang dilakukannya. Hal inilah yang membuatnya semakin kebal
hukum.
Bukti kebal
hukum itu dapat dilihat dari kemampuan ER terbebas dari beberapa dugaan kasus
korupsi yang pernah menyandera dirinya. Pada tahun 2013 lalu, ER sempat
dikaitkan terkait korupsi PT BWR (Batu
Wisata Resource). Kasus ini bermula sejak dibentuknya PT BWR melalui
Pertaruran Daerah (Perda) Nomor 7 tahun 2009 tentang Perseroan Terbatas (PT)
Batu Wisata Resource (BWR). Diduga perusahaan ini telah melakukan penyelewangan
berupa penggelapan dana dan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan direktur PT
BWR, Dwi Martono Arlianto, pengusaha Abdul Latief Chaled (investor BTC-Batu Tourism Center) dan ER selaku
kepala daerah.
Dugaan kasus
korupsi yang melibatkan ER kembali terjadi setelah Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) mengeluarkan hasil audit terkait
beberapa tempat hiburan hotel
dan restoran di Kota Batu pada tahun 2011 tidak melakukan pembayaran pajak
dengan benar (data hasil kajian MCW). Akibat dari tindakan ini, pemerintah Kota
Batu diperkirakan mengalami kerugian sekisar Rp. 22.441.548.561,00. Sayangnya,
kasus ini tidak pernah ditindak tegas oleh penegak hukum, sehingga membuat ER
kembali bebas dari kasus ini.
Kasus korupsi
lainnya juga pernah diduga melibatkan kepala daerah di tahun 2011. Kasus itu
terkait pemberian Dana Ternak, dimana dalam anggaran tahun 2011, pemerintah
Kota Batu pernah menganggarkan belanja barang dan jasa untuk pembelian hewan
ternak (sapi dan kambing) sebesar Rp 2.250.365.000,00. Bantuan dana ini
merupakan investasi nonpermanen, tetapi sampai 31 Desember 2012 masih belum
didapatkan laporan perkembangan terhadap kondisi ternak.
Kasus
penyalahgunaan anggaran juga diduga pernah terjadi pada pemberian dana hibah
dan bantuan sosial. MCW menemukan bahwa dari total realisasi dana hibah dan
bansos sebesar Rp 36.962.180.893,00 dan Rp 7.562.870.911,00, terdapat Rp
4.141.050.000 yang dicairkan tanpa adanya SK dari walikota Batu dan/atau Naskah
Perjanjian Hibah Daerah. Terdapat 44 penerima dana, dimana 29 hibah Rp
3.589.300.000,00 tanpa SK walikota, 10 hibah Rp 330.000.000,00 tanpa NPHD dan 5 bantuan sosial Rp
221.750.000,00 tanpa SK walikota. Namun, lagi-lagi kasus ini tidak pernah
ditangani dengan serius oleh penegak hukum.
Kasus korupsi
lainnya di kota Batu yang tidak kalah menarik adalah pengelolaan hibah instansi
vertikal. Terdapat sekitar Rp 9.832.342.000,00 dana yang dianggarkan pemkot
untuk Polres Batu dan Kodim 0818. Adapun persealisasian anggaran tersebut
sebesar Rp 9.134.066.060,00 dimana sekitar Rp 1.482.342.000,00 untuk kedua
instansi Polres
Batu dan Kodim 0818. Berdasarkan penjelasan Kepala Bagian Keuangan Setda
tanggal 19 April 2013 dan Bendahara Pengeluaran SKPKD tanggal 25 April 2013,
diketahui bahwa Pemerintah Kota Batu tidak melaporkan penyaluran belanja hibah
tersebut kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan pada akhir tahun
anggaran 2012. Sehingga, dengan kondisi seperti itu maka menteri dalam negeri
tidak bisa memonitor dana tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan adanya
indikasi korupsi Pemkot Batu (Data
Laporan MCW 2016).
Berangkat
pada kasus di atas, dapat dikatakan bahwa desentralisasi kekuasaan masih menuai
banyak masalah, khususnya yang terjadi di Kota Batu. Terbukti bahwa banyak
kasus suap, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi masih menyandera kepala daerah
berikut elite penyelenggara pemerintahan daerah. Potret kasus di kota Batu ini
menjadi bukti empirik dimana semangat otonomi daerah belum sepenuhnya berjalan
baik, disebabkan praktik kekuasaan yang distortif. Mandat reformasi mengalami
pembiasan di tangan aktor-aktor kekuasaan yang tidak bertanggung jawab.
Barangkali dari kasus inipula yang membuat buah reformasi mengalami pembusukan
sebelum matang.
Pemendekan
rentang kendali kekuasaan ternyata tidak membuat daerah semakin maju dan
beradab. Justru, kesempatan itu dimanfaatkan oleh mereka yang menanam benih
persekongkolan bisnis-politik yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan kelompok
mereka. Sementara, warga lokal yang semula diharapkan mendapat keuntungan dari
adanya proyek desentralisasi ini terpaksa harus menanggung kerugian akibat ulah
elite politik lokal yang lebih mementingkan kepentingannya sendiri.
Pengkhianatan mandat reformasi ini sekaligus
turut menghambat semangat
demokratisasi lokal yang mana menempatkan
warga lokal sebagai subjek perubahan dan pengingkaran atas cita-cita pemenuhan
kesejahteraan warga.
Penyimpangan
mandat itu dipicu oleh penunggangan desain kebijakan oleh kepentingan para
pebisnis. Kuatnya jaringan bisnis-politik yang melibatkan kepala daerah dengan
beberapa klik pengusaha membuat orientasi kebijakan lebih berpihak pada
kelompok pemodal. Hal ini berakibat pada pemarjinalan kepentingan warga Kota
Batu. Warga Batu hanya dijadikan objek pembangunan dan legitimasi politik,
sementara tidak pernah terlibat aktif dalam perumusan kebijakan pembangunan
daerah. Ruang kosong ini ternyata dijadikan bantalan empuk bagi para pengusaha
dalam menjalin hubungan saling- menguntukan dengan elite birokrat. Alhasil,
pembangunan di Kota Batu tidak sepenuhnya dinikmati oleh warga Batu, melainkan
masuk dalam kantong-kantong pemodal yang memiliki kerajaan bisnis di Kota Batu.
Disorientasi
kebijakan daerah ini kian hari berdampak buruk terhadap masyarakat Kota Batu.
Tercatat dengan adanya laju pembangunan di Kota Batu tidak berdampak positif terhadap rasio gini
warga. Hasil temuan Intrans Institute menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir
angka rasio gini Kota Batu mengalami peningkatan, terutama pada kurun waktu
2008-2015. Sejak 2015 rasio gini Kota Batu berada pada angka 0.36 (Intrans
Institute, 2017). Angka ini jauh lebih buruk dibandingkan pada tahun 2008 yakni
0.27. Dari data tersebut terbukti bahwa pembangunan Kota Batu bertolak belakang
dengan pemerataan pendapatan ekonomi masyarakat.
Intrans
Institute juga menemukan bukti terkait banyaknya angkatan kerja di Batu yang
tidak terserap oleh pembangunan dan lapangan pekerjaan (Intrans Institut,
2016). Sejak 2014 lalu, Tim peneliti Intrans Institute melakukan penelitian
terkait tingkat serapan kerja
di balik geliat pembangunan Kota Batu, hasilnya, kebanyakan tenaga kerja yang
bekerja di sektor pariwisata dan
jasa lainnya di Kota Batu adalah para pendatang (Intrans Institut, 2017). Bukti
temuan yang ada mengindikasikan bahwa pemkot Batu belum mampu merumuskan
kebijakan yang benar-benar berpihak pada warga setempat. Akibatnya, di tengah
hilangnya lahan pertanian warga untuk pembangunan beton tidak membawa manfaat
setimpal untuk kesejahteraan mereka.
Potret buram
pelaksanaan mandat desentralisasi dan semangat otonomi daerah Kota Batu
menyisakan berbagai problem pembangunan dan kesejahteraan warga. Arah
pembangunan daerah Kota Batu yang hendak menjadikan sentra kawasan pariwisata
internasional, ternyata berimplikasi pada kemiskinan dan ketimpangan ekonomi
warga. Pemerintah lebih cenderung mengakomodir kepentingan bisnis segelintir
pemodal lewat penyediaan fasilitas bisnis dan berbagai konsesi politik yang
melapangkan bisnis mereka. Sedangkan pada sisi lain, warga terus kehilangan
sumber daya produktif berupa lahan dan perkebunan akibat laju konversi fungsi
lahan yang kian tak terbendung.
Comments
Post a Comment