Masih Banyak Masyarakat Kota Batu Tidak Mengetahui Profil dan Program Kandidat




I.                   Pendahuluan
Pimilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan salah satu bagian penting guna mewujudkan demokrasi yang substantif. Demokrasi yang mengarah pada ketercapaian kesejahteraan dan keadilan sosial. Bukan, malah sebaliknya. Hakikatnya, pilkada adalah manifestasi dari kekuasaan rakyat yang diberikan kepada pemimpinnya untuk menjalankan amanat sesuai dengan cita-cita bangsa. Sehingga, Pilkada selalu dianggap sebagai peristiwa luar biasa sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Melaluinya, calon-calon  pejabat publik memperkenalkan diri kepada khalayak untuk dipilih sebagai aktor pengambil kebijakan.
Secara normatif, Pilkada dipercaya akan memberikan manfaat sekaligus harapan bagi pertumbuhan, perkembangan, pendalaman, serta perluasan demokrasi lokal. Apalagi dengan desain pilkada langsung. Di mana rakyat diberikan peluang untuk mengaktualisasikan hak-hak politiknya secara lebih baik. Dari sana lah konsolidasi di aras lokal diharapkan akan tumbuh subur.
Namun, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Pilkada langsung belum mampu menjadi ruang pendidikan politik kritis bagi rakyat. Rakyat sebatas dijadikan alat legitimasi kekuasaan semata. Jeffrey Winters mengatakan bahwa rakyat hanya punya hak pilih. Tapi tidak dalam menentukan calon. Artinya, pemufakatan busuk ditataran oligarki politik lah calon ditentukan. Akibatnya, daftar panjang kasus korupsi yang terjadi di daerah memberi gambaran yang telanjang bahwasannya pilkada sejauh ini banyak melahirkan bandit tinimbang pemimpin yang adil.  Kakayaan daerah dikapling-kapling berdasarkan selera dan kebutuhan para oligark ini.
Dalam konteks Pilkada Serentak 2017 di Kota Batu, Malang Corruption Watch (MCW), mencoba memperoleh gambaran yang faktual mengenai kondisi pemilih yang digadang-gadang bakal teremansipasi oleh penyelenggaraan pilkada langsung. Setidaknya, posisi pemilih yang berada pada level kesadaran kritis akan mampu mempersempit dan mengimbangi relasi politik-bisnis dalam pemilukada. Rakyat pemilih tidak hanya sebatas menjadi mayoritas yang diam dihadapan ekspansi kerakusan yang menjarah wilayahnya.
Guna memperoleh gambaran yang faktual, MCW melakukan penelitian terkait kesadaran politik pemilih di Kota Batu. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang ingin memperoleh gambaran atas kesadaran politik pemilih dalam Pilkada Kota Batu. Selanjutnya, data berupa angka-angka atas populasi warga Batu tersebut dideskripsikan dan dianalisis secara kritis. Kritis dalam hal ini tidak hanya berorientasi menafsirkan data-data kuantitatif saja. Melainkan juga memberikan kritik serta rekomendasi. Atau bisa dikatakan sebagai salah satu upaya advokasi. Kritis dalam hal ini menaruh perhatian untuk membongkar dan menjelaskan aspek-aspek yang tersembunyi di balik sebuah kenyataan.
Penelitian ini dilakukan di Kota Batu mulai 20 desember 2016 – 30 januari 2017.  Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 150 orang yang tersebar di tiga kecamatan Kota Batu. Sampel ditentukan menggunakan metode Proportionate Stratified Random Sampling. Cara ini digunakan pada populasi yang diteliti adalah heterogen (tidak sejenis), yang dalam hal ini berbeda dalam hal jumlah penduduk. Sehingga pada masing-masing kecamatan atau desa diambil secara proporsional untuk memperoleh perbedaan jumlah sampel yang akan diambil berdasarkan perbedaan jumlah penduduknya. Jumlah responden pelitian ini sebanyak 150 dibagi kec. Batu ; 60, kec. Junrejo ; 41 kec. Bumiaji ; 40.
Dari total respondent mempunyai identitas 28% petani, 27% keryawan, 13% pedagang, 10% peternak dan 22% identitas lain-lain (ojek, sopir angkot, rumah tangga, pengangguran, pelajar, akademisi dan praktisi). Artinya, secara tidak langsung dalam penelitian ini responden yang berlatar belakang petani menempati jumlah yang paling banyak. Dibanding respondeng dengan latar belakang pekerjaan lainnya.
II.                Temuan dan Analisis
Kota Batu merupakan satu-satunya kota di Jawa Timur yang bakal melakoni Pilkada Serentak pada 2017 ini. Ada 4 (empat) kandidat yang akan dipilih oleh masyarakat Kota Batu dengan tawaran berbagai program. Pastinya, dari keempat kandidat tersebut pasti akan ada yang terpilih dan menempati jabatan sebagai pengambil kebijakan di Kota Batu. Namun, selain membincangkan keterpilihan kandidat, yang juga menarik dilihat adalah sejauh mana perilaku politik rakyat Kota Batu dalam Pilkada kali ini. Partisipasi politik rakyat Batu yang menjadi bagian dari perilaku pemilih sedikit banyak memberi jawaban atas keraguan terhadap demokrasi lokal.
Partisipasi politik amat penting kaitannya dengan proses pendalaman demokrasi. Herbert Milosky mengatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, baik secara langsung atau tidak langsung. Termasuk juga mengambil peran dalam proses pembentukan kebijakan (Elly M. Setiadi dan Usman Kolip : 2015). Partisipasi rakyat dalam Pilkada Kota Batu adalah salah satu contohnya. Baik bagi mereka yang memilih maupun yang  tidak menentukan pilihan.
Prof. Miriam Budiarjo mendefinisikan prilaku pemilih sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Public Policy) (Miriam Budiarjo 2008;136). Selain itu, menurut Norman H. Nie dan Sydney Verba, partisipasi politik berarti kegiatan atau aktivitas warga Negara untuk memengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara, tindakan-tindakan mereka, dan keputusan-keputusan pemerintah. Keaktifan masyarakat untuk turut serta kampanye atau bahkan mengkritisi proses kampanye merupakan manifestasi dari partisipasi politik. Partisipasi dalam konteks ini tidak sebatas pemberian suara. Lebih dari itu, keikutsertaan masyarakat sepanjang proses pilkada juga bagian dari partisipasi politik itu sendiri.
Kualitas partisipasi dan bentuk partisipasi yang diberikan oleh masyarakat juga berlainan. Tergantung sejauh mana tingkat kesadaran politik yang dibangun oleh pengetahuan-pengetahuan di sekitarnya. Masyarakat yang tidak pernah memperoleh pengetahuan mengenai pelanggaran-pelanggaran pilkada jangan diharapkan akan memantau atau melaporkan pelanggaran. Mengenali saja tidak, apalagi melaporkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan MCW menemukan beberapa hal sebagai berikut ;
Pertama, mayoritas responden, 79%, menganggap bahwa hasil dari Pilkada akan sangat berpengaruh bagi kesejahteraan mereka lima tahun ke depan. Mereka setidaknya memahami bahwasannya proses Pilkada teramat vital bagi keseharian mereka. Salah dalam menentukan pilihan, akan berdampak fatal bagi kebijakan yang menimpa masyarakat. Sayangnya, masih cukup tinggi, 21%, masyarakat yang tidak mengetahui dampak pilkada bagi kesejahteraan mereka.
 .T1] 
Kedua, berdasarkan data diatas, dapat dilihat bahwa mayoritas pemilih, 64%, tidak mengetahui profil calon yang akan mereka pilih. Profil merupakan hal dasar yang selayaknya diketahui oleh pemilih agar tidak keliru dalam menentukan pilihan. Bagaimana kemudian bisa tepat memilih, sedangkan profil calon saja tidak diketahui secara baik. Dari profil itu, ada informasi-informasi latarbelakang kandidat yang layak diketahui pemilih. Sehingga, profil lengkap kandidat menjadi salah satu bahan pertimbangan.
Ketiga, pengetahuan masyarakat akan program dan pasangan calon (paslon) juga sebagai dasar kenapa masyarakat memilih calon tersebut. Tingkat pengetahuan masyarakat pada program dan paslon yang dihasilkan oleh tim riset MCW menunjukkan 80% masyarakat tidak mengetahui program paslon yang akan diberiakan pada masyarkat. Ironis, proses panjang kampanye dan sosialisasi ternyata tidak membuat masyarakat benar-benar mengerti program yang diusung kandidat. Padahal, program yang ditawarkan oleh kandidat bisa menjadi alasan utama untuk memastikan pilihan. Di mana nantinya, ketika kandidat itu terpilih, program itulah yang harus bisa ditagih oleh para pemilihnya.
Hal ini menjadi amat kontradiktif, di sisi yang lain mayoritas responden, 74%, menyatakan bahwa dasar mereka menentukan pilihan adalah program yang ditawarkan kandidat. Program yang ditawarkan saja tidak tahu, lantas program yang mana yang kemudian akan dijadikan dasar memilik. Dalam konteks inilah kegagalan transformasi pengetahuan mealui proses pilkada menjadi amat nyata. Proses pilkada, nampak sebatas selebrasi atau karnaval politik minus diskursus yang mengemansipasi. Buktinya, profil dan program saja masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui.
Tidak salah, kalau kemudian mengatakan bahwa kampanye selama ini hanya selesai pada politik citra. Sementara kedalaman diskursus sepanjang kampanye menjadi ditinggalkan dan diabaikan. Kandidat sibuk memoles diri untuk memobilisir massa. Bukan menciptakan pemilih-pemilih yang rasional. Pemilih rasional, menurut Eef Saefullah, adalah pemilih yang menjatuhkan pilihannya berdasarkan kecocokan isu, program, maupun kebijakan yang diusung kandidat. Tipe pemilih ini berasal dari gologangan masyarakat yang telah memperoleh pengetahuan memadai dan kesadaran politik tinggi.
Kegagalan kandidat dalam membumikan program yang mereka usung kedalam kognisi sosial masyarakat, akan berdampak pada penciptaan massa mengambang. Pemilukada, praktis hanya menjadi ajang mobilisasi massa untuk melegitimasi penguasa. Cara-cara instan, semacam politik uang, mendatangkan artis, karnaval, patronase tokoh/elit (agama, intelektual, politik), ditempuh untuk mendulang suara. Proses dialogis dan diskursif yang memperdalam kualitas demokrasi menjadi tidak dilakukan.

Keempat, kaitannya dengan politik uang, 91%, mengatakan bahwa mereka mengetahui kalau politik uang itu sejatinya dilarang. Bahkan, 54% dari responden menyatakan menolak jika ada kandidat yang memberikan politik uang. Diantara responden, 24%, mengaku akan melaporkan jika politik uang terjadi. Hal ini menjadi kabar yang menggembirakan. Masyarakat yang diposisikan sebagai objek oleh para kandidat, masih memiliki harga diri untuk tidak mau dibeli.  Hanya saja, mayoritas dari responden, 58%, memilih mendiamkan pelanggaran, dibanding melaporkannya ke penegak hukum atau panwas.

Comments

Popular posts from this blog

Pendahuluan Bab 2

Sejarah Singkat Kota Batu

Belanja Wajib Pemerintah Batu turun