“Konsep Desa Berdaya Kota Berjaya Perlu Dievaluasi”
Batu, 18
Februari 2019 – Menjelang tahun kedua
pemerintahan kota batu dibawah kepemimpinan Dewanti Rumpoko dengan Visi Desa
Berdaya Kota Berjaya. Visi ini merupakan satu komitmen dari pemkot batu untuk mendorong
perubahan dan kemajuan daerah melalui pemberdayaan desa. Meski demikian, Dari
lima (5) poin misi yang merupakan turunan dari cita-cita Desa Berdaya tidak
menjelaskan secara komprehensif dan spesifik mengenai pembangunan dan
pemberdayaan Desa. Terlebih berkaitan dengan konsep pemberdayaan Desa yang
partisipatif, transparan, akuntabel, dan bersih dari praktik korupsi, kolusi,
dan Nepotisme (KKN). Selain itu, Malang Corruption Watch (MCW) juga menilai
bahwa walikota Batu belum memiliki konsep dan kerangka perubahan yang jelas
dalam mengoperasikan visi dan misinya tentang “Desa Berdaya Kota Berjaya”.
berikut adalah beberapa catatan yang menjadi indikator belum berjalannya agenda
pemberdayaan Desa Di Kota Batu.
Paradoks
Desa Berdaya Kota Berjaya.
Salah
satu upaya mendorong pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang di canangkan oleh
pemerintah kota batu adalah melalui Misi wali Kota Batu. Pada poin dua Misi
walikota Batu secara umum mengarah pada upaya memaksimalkan pelayanan public
dasar yakni pendidikan, kesehatan, social dan pemberdayaan perempuan. Dalam, logika
perubahan berdasarkan implementasi misi walikota Batu maka, pada tahun kedua
(2019) fokus pemberdayaan terletak pada poin 2 misi walikota batu sebagaimana
disebutkan di atas. Akan tetapi jika ditelisik lebih jauh, maka untuk melihat
seberapa jauh efektifitas pelaksaannya dapat kita lacak melalui kebijakan
distribusi anggaran pada beberapa sector yang menjadi fokus pemberdayaannya.
Berikut tabelnya.
Nama OPD
|
Belanja langsung
|
Belanja tidak langsung
|
Dinas pendidikan
|
Rp.
81.163.837.527,00
|
Rp.
128.968.966.695,00
|
Dinas kesehatan
|
Rp.
33,242,662,491.00
|
Rp.
19,721,275,907.00
|
Dinas social
|
Rp.
3,554,894,865.00
|
Rp.
2.825.189.453,00
|
Dinas DP3AP2KB
|
Rp.
6,481.697.845,00
|
Rp.
3.938.241.892,00
|
Sumber : Peraturan daerah APBD 2019 Kota
Batu
Berangkat
dari tabel di atas terdapat beberapa catatan yang mejadi kejanggalan adalah; Pertama. Dinas pendidikan, proposi
anggaran belanja langsung lebih sedikit dari pada belanja tidak langsung.
Dimana, alokasi belanja langsung hanya 81,1 Milliyar atau baru 8.11% dari total
APBD. Artinya tidak sesuai dengan amanat undang-undang yang mengamanatkan
belanja pendidikan 20% diluar gaji; Kedua,
dinas Kesehatan. Meski terlihat komposisi belanja langsung lebih besar namun angka
tersebut baru mencapai 3.32%. Artinya, jumlah tersebut masih jauh dari amaant
undang-undang yang mewajibkan alokasi anggaran belanja langsung pada sector
kesehatan sebesar 10%; Ketiga. Dinas sosial. Dari total belanja langsung
sebesar 6.4 Milliyar, kemudian dibagi dalam beberapa belanja program seperti,
program pelayanan kesektariatan perangkat daerah sebesar Rp 1.4 Milliyar,
program pelayanan rehalibitasi dan perlindungan social Rp 957 Juta, dan program
pemberdayaan bantuan dan jaminan social sebesar Rp 1.1 Miliiyar; Keempat. Dinas
Pemberdayaan Perempuan, perlindungan anak dan Keluarga berencana (DP3AP2KB).
Benar bahwa belanja langsung lebih besar daripada belanja tidak langsung, namun
alokasi belanja untuk program pemberdayaan sangat rendah yakni, pemberdayaan
pemerempuan dan perlindungan anak sebesar Rp 1.6 Milliyar dan program
pemberdayaan masyarakat dan peningkatan pembangunan desa hanya sebesar Rp 645
Juta. dengan melihat komposisi anggaran belanja pada beberapa dinas yang
berkaitan dengan hajad hidup masyarakt Desa yang minim adalah salah satu
indicator bahwa pemkot Batu belum sepenuhnya serius dan komitmen dalam
mendorong pemberdayaan desa.
Molornya Distribusi
Anggaran Desa (ADD)
Alokasi dana desa (ADD) adalah alokasi
anggaran yang diberikan oleh pemerintah Kota/Kabupaten kepada desa melalui dana
perimbangan. ADD tersebut diatur dalam peraturan walikota batu No, 19 tahun
2018 tentang perubahan kedua atas perwali Batu No. 35 Tahun 2017 tentang
pedoman pengelolaan keuangan desa. Penyaluran ADD dilakukan secara bertahap
pada tahun anggaran berjalan dengan ketentuan:
a. triwulan I sebesar 25% (dua puluh lima perseratus); b. triwulan II
sebesar 25% (dua puluh lima perseratus); c. triwulan III sebesar 25% (dua puluh
lima perseratus); dan d. triwulan IV sebesar 25% (dua puluh lima perseratus).
Berikut tabel ADD selama 3 tahun terakhir :
Anggaran
|
2017
|
2018
|
2019
|
Alokasi Dana Desa
|
22,8 Milliar
|
53,4 Milliar
|
59,7 Milliar
|
Sumber : Peraturan
Walikota Batu tentang tata cara pembagian ADD tahun 2017,2018,2019
Meskipun demikian, dalam konteks alokasi dana
desa (ADD) kota Batu pada dua tahun terakhir bermasalah karena molor sehingga
jauh dari nilai kepatuhan. Misalnya, pada tahun 2017 alokasi dana desa yang
seharusnya dicairkan pada bulan maret, justeru hingga pada bulan mei belum
dicairkan sehingga berdampak pada pelaksanaan program pelayanan Desa dan
pemenuhan Hak Perangkat desa (gaji dan insentif), begitu juga yang terjadi pada
tahun 2019. Dimana, DD dan ADD yang seharusnya dicairkan pada awal januari
justeru hingga hari belum ada kejelasa. Sementara berbagai dokumen dan berkas
sudah di ajukan oleh kurang lebih 19 desa di Kota Batu, (baca: surya
malang,12/03/2019). Terlepas alasanya karena terjadi kekosongan jabatan di
lembaga inspektorat, namun dalam hal kebijakan alokasi anggaran terutama
berkaitan dengan kebutuhan pembangunan Desa (ADD dan DD),kekosongan jabatan
tersebut bukan menjadi alasan yang justeru menghambat proses pelayanan dan
pembangunan di Desa. Harusnya pemerintah Kota Batu segera melakukan berbagai
upaya penyelesaian sehingga masalah tersebut tidak berkepanjangan terjadi.
Sebab jika tidak dipercepat proses pencairannya maka akan berdampak pada,
pembangunan dan pelayan desa akan terhambat, dan pelayanan hak dasara warga
desa juga terganggu. Artinya, kondisi demikian menjadi satu indicator untuk
mengevaluasi kembali komitmen dan konsistensi walikota Batu terhadap
pelaksanaan visi dan misi tentang “Desa Berdaya, Kota Berjaya”.
Beberapa
problem Desa.
-
Minimnya
transparani, akuntabilitas dan partisipatif mulai dari penyusunan, pengawasan
hingga pertanggunghawaban tata kelola desa (Anggaran,Program dan kegiatan)
mengakibatkan Desa masih perlu intervensi lebih dari pemkot dalam hal tata
kelola pemerintahan desa.
-
Masalah piutang
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kota Batu sekitar 31,3 M masih menjadi tanda
Tanya public Batu. Hampir di semua desa masalah PBB diduga mengalami penyelewengan
dan berpotensi dibiarkan terkatung-katung oleh pemkot Batu.
-
Pemkot
belum melakukan pendampingan secara serius kepada Desa dalam mengoptimalkan
potensi desa yang salahsatunya ialah desa wisata.
Tabel
1.2 Perbandingan Kunjungan Desa Wisata dan Wisata Buatan di Kota Batu
Desa
Wisata
|
Jumlah
Kunjungan
|
Desa Wisata Sumberjo
|
4.167 wisatawan
|
Desa
Wisata Bumiaji
|
8.744
wisatawan
|
Kampung
wisata kungkuk
|
4.852
wisatawan
|
Sumber
: Batu dalam angka 2018
Wisata Buatan
|
Kunjungan
|
Museum Angkut
|
339.003
|
Jatim Park
|
287.423
|
Museum Satwa
|
276.091
|
Sumber
: Batu dalam angka 2018
Dari kedua tabel diatas dapat dilihat
bahwa:
1. Terdapat ketimpangan jumlah kunjungan
wisatawan di abtara Wisata Desa dan Wisata Buatan. Disisi lain, berdasarkan hasil monitoring MCW
melalui pendampingan terhadap warga sumberjo memperoleh informasi bahwa Desa
Wisata Sumberjo diduga sudah tidak beroperasi sejak tahun 2017 dan belum
mendapatkan perhatian oleh pemkot Batu dalam artian upaya menghidupkan kembali
sebagai komitmen mendporong pemberdayaan desa dibidang agrowisata. Padahal Desa
Wisata selama ini lebih memiliki sifat suistanable development (Pembangunan
berkelanjutan) dimana keseimbangan lingkungan dapat terjamin dan secara social
ekonomi memberikan dampak positif bagi masyraat setempat seperti menumbuhkan
lapangan pekerjaan, meningkatkan PADes dan menjadikan masyarakat mandiri secara
perekonomian.
2. Minimnya agenda promosi desa wisata belum
dilakukan secara massif sebagaimana promosi wisata buatan (JTP Grup) yang
digencarkan setiap tahunnya oleh pemkot batu. Hal tersebut terlihat dari
sejumlah iklan pariwisata yang dipromosikan baik melalui videotron, baliho, dan
sebagainya semata-mata adalah tentang wisata buatan. Kondisi demikian menjadi
indicator bahwa pemkot batu belum serius dalam mengembangkan pemberdayaan
masyrakat desa di sector agrowisata.
3. Selain itu, persoalan minimnya fasilitas
penunjang seperti infrastruktur dan media promosi yang secara intergrasi antara
desa dan kota menjadi salah satu penghambat perkembangan wisata desa. Ditambah
persebaran industry pariwisata kelas raksasa yang kian subur di kota batu,
semakin menjauhkan wisata desa dari kunjungan para wisatawan yang pada akhirnya
berimplikasi pada ketidakberdayaan desa dalam mengelola potensi desa sebagai
sumber pokok pendapatan Desa.
Berangkat dari catatan diatas, Malang
Corruption Watch bersama dengan warga Kota Batu mendesak:
1. Pemerintah
Kota Batu segera mempublish konsep Desa Berdaya kepada public sehingga jelas
dasar pembangunan melalui Desa sesuai dengan visi misinya.
2. Pemerintah
kota Batu segera melakukan evaluasi secara besar-besaran terhadap tata kelola
penyaluran keuangan desa agar tidak menghambat pembangunan dan pemberdayaan
Desa.
3. Pemerintah
kota Batu untuk melakukan pendampingan terhadap Desa dalam melakukan
pembangunan Desa wisata sesuai dengan potensi daerahnya agar tidak terjadi
ketimpangan kunjungan antara Desa Wisata dan Wisata Buatan.
4. Masyarakat
Kota batu terutama Desa ikut terlibat aktif dalam melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pemerintahan Kota Batu.
Bayu Agung Prasetya
Comments
Post a Comment