EVALUASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PARIWISATA KOTA BATU
POLICY BRIEF : EVALUASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PARIWISATA KOTA BATU
Sepuluh tahun lebih konsep
pembangunan pariwisata telah dijalankan di Kota Batu. Dimulai oleh kepemimpinan
Eddy Rumpoko pada tahun 2007 menggunakan visi-misi “Kota Batu Sentra Pertanian Organik
berbasis kepariwisataan Internasional ditunjang oleh pendidikan yang tepat guna
dan berdaya saing” sampai dengan istrinya hingga tahun 2022 yang menggunakan
visi-misi yang hampir sama.
Sampai sekarang pembangunan pariwisata
berjalan sangat pesat di Kota Batu. Terbukti berdasarkan data BPS Kota Batu
2018 terdapat kurang lebih kurang lebih 25 Wisata Buatan, 937 Hotel dengan
total kamar 8535 kamar dengan kunjungan wisata mencapai 4,1 juta wisatawan.
Namun MCW melihat tata kelola pariwisata kurang baik sehingga penting untuk
menyampaikan beberapa catatan sebagai upaya untuk mendorong adanya perubahan
tata kelola wisata di Kota batu. Diantaranya :
KESENJANGAN ANTARA
TUJUAN DAN REALITAS
Tujuan Pariwisata Kota Batu
sebenarnya diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah No.
7 Tahun 2011 Kota Batu yang menyatakan bahwa “Meningkatakan posisi dan peran
Kota Batu dari kota wisata menjadi sentra wisata yang diperhitungkan di tingkat
regional atau bahkan nasional, dengan melakukan penambahan ragam obyek dan
atraksi wisata, yang di dukung oleh sarana dan prasarana serta unsur penunjang
wisata yang memadai dengan sebaran yang
relatif merata di penjuru wilayah Kota Batu guna memperluas lapangan pekerjaan dalam rangka mengatasi pengangguran
dan meningkatakan pendapatan warga
maupun PAD Kota Batu yang berbasis
Pariwisata“. Namun, Peraturan daerah ini merupakan paradoks bagi pemerintah
daerah/pengusaha dalam memperlancar ekspansi usahanya. Perda tersebut dinilai
mempunyai sifat elitis dan tidak bertujan untuk memakmurkan masyarakat batu.
Pertama, Memperluas
lapangan pekerjaan dalam rangka mengatasi pengangguran. Berdasarkan data RPJMD Kota Batu mengatakan bahwa Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) dimana pada tahun 2012 sebesar 3472 jiwa meningkat
tajam 4300 pada tahun 2016. Sedangkan, TPAK Kota Batu tahun 2014 dan 2015
mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun 2013. TPAK Kota Batu tahun 2013
sebesar 70,74 persen sedangkan tahun 2014 hanya 70,38 persen dan turun lagi
pada tahun 2015 sebesar 68,60 persen. TPAK 68 persen mempunyai arti bahwa dari
100 penduduk yang berumur 15 tahun keatas, 68 orang diantaranya termasuk dalam
angkatan kerja.
Jenis
Kegiatan
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
Tingkat Pengangguran Terbuka
|
3472
|
2404
|
2600
|
4526
|
4300
|
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
|
70,9 %
|
71,74
|
70,38
|
68,60
|
68,74 %
|
Tabel Pengangguran di Kota Batu Dokumen RPJMD Kota Batu 2018 – 2022
Tabel diatas menunjukkan bahwa
penyebaran pariwisata disetiap wilayah bukan satu-satunya alternatif terbukanya
lapangan pekerjaan di Kota Batu. Terbukti selama beberapa tahun justru
meningkat jumlah pengangguran dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang menurun.
Disisi lain, pengangguran tersebut disebabkan mengingat kebijakan standarisasi
perusahaan belum disertai dengan kualitas SDM daerah yang ada. adanya kebijakan
rasionalisasi karyawan yang ditentukan oleh perusahaan menyebabkan tingginya
pengangguran terbuka meningkat selama 3 tahun terakhir.
Kedua Meningkatkan
Pendapatan Masyarakat. Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa timur Kota Batu
mengalami ketimpangan dari beberapa kabupaten/ Kota di Jawa timur terbaca sejak
tahun 2008, tren ketimpangan pendapatan tidak mengalami penurunan, malah
meningkat. Hanya mengalami sedikit stabilitaas pada tahun 2010 hingga 2013,
lalu menurun pada tahun 2014 dan akhirnya meningkat tajam du akhir tahun 2015.

Meningkatnya rasio gini Kota Batu
2015 menunjukkan kondisi kesenjangan sosial di Kota Batu semakin memburuk. Hal
ini tentu sangat jauh dari apa yang didengungkan oleh pemerintahan Kota Batu
selama 10 tahun terakhir ini. Investasi dan pembangunan tidak membuat
masyarakat Batu semakin sejahtera, melainkan semakin terpuruk karena kehilangan
tanah (alat produksi pertanian), akibat konversi besar-besaran untuk
pembangunan pariwisata dan perhotelan melalui berbagai modus salah satunya
kebijakan RTRW. Disisi lain, tidak kalah penting masyarakat batu juga perlu
mempertimbangkan keadaan alam dan budaya sekitar yang semakin tergerus dengan
adanya pariwisata.
FAKTOR LINGKUNGAN
Menurut Basuki Antariksa dalam
bukunya (Konsep Pembangunan Pariwisata berkelanjutan) kepariwisataan baru dapat
menjalankan perannya bilamana ada jaminan mengenai dua hal, yaitu ketahanan pangan dan ketahanan budaya. Sementara, itu
ketahanan pangan juga tertuang dalam pasal 7 Perda RTRW Kota Batu mengatakan
“Meningkatkan peran Kota Batu sebagai Kota Pertanian (Agropolitan), khususnya
untuk jenis tanaman sayur,buah dan bunga, serta menguatnya perdagangan hasil
pertanian dan industri pertanian (agro industri) yang diperhitungkan baik pada
tingkat regional (Jawa Timur) maupun tingkat nasional guna memperkuat ekonomi
kerakyatan yang berbasis pertanian.” Sektor pertanian berkontribusi terhadap
Pendapatan Domestik Bruto(PDRB) sangat signifikan, selaras dengan Peraturan
diatas sehingga pertanian organik menjadi prioritas pembangunan di Kota Batu.
Dengan uraian produksi pertanian sebagai berikut :
Tabel Produksi Tanaman Holtikultura Kota Batu
Uraian
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
Wortel
|
100381
|
82732
|
86591
|
65519
|
66465
|
Kubis
|
36293
|
40664
|
59119
|
102748
|
73692
|
Daun Bawang
|
49958
|
36002
|
47095
|
39231
|
40059
|
Apel
|
590004
|
838915
|
708438
|
671207
|
748076
|
Jeruk
|
324418
|
154897
|
132205
|
132231
|
88515
|
Sumber: LKPJ 2017
Berdasarkan tabel diatas dalam
beberapa tahun terakhir jumllah produksi pertanian di Kota Batu mengalami
penurunan yang sangat drastis. Pada tahun 2012 Produksi Wortel mengalami
kejayaan hingga mencapai angka 100.381 ton tetapi setiap tahunnya mengalami
penurunan dan kemudian anjlok pada tahun 2016 pada angka 66.465 ton pertahun. Begitupun produksi buah jeruk yang mengalami
kondisi serupa. Pada tahun 2012 produksi Buah jeruk mencapai 324418 ton,
kemudian 2015 langsung turun 50 persen sehingga 154897 ton. dan pada tahun 2016
mengalami ketimpangan luar biasa yang hanya dapat produksi 88.515 ton. Sehingga
selama beberapa tahun masyarakat batu mengalami penurunan ketahan pangan tidak
sesuai dengan visi-misi pertanian.
Hal tersebut dikarenakan
pembangunan kepariwisataan tanpa disadari cepat menggerus lahan pertanian di
Kota Batu. Berdasarkan data sensus pertanian (2013) Kota Batu disebutkan
sebelumnya (2003) luas lahan pertanian 2.681 ha dan kini merosot 11,5% menjadi
2.373 ha. Demikian dengan jumlah petani yang sebelumnya (2003) sebanyak 19.326
rumah tangga kini berkurang (2013) sebanyak 17.358 rumah tangga. Sementara itu
sumber air berkurang 2009 sebanyak 155 sumber mata air menjadi 57 sumber.
Artinya pergeseran pembangunan tidak disejajarkan menjaga local wisdom sehingga
semata-mata hanya melindungi kepentingan ekonomi dan industry tanpa
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan industry di Kota Batu.
BANYAKNYA BANGUNAN WISATA YANG MENGALAMI MALADMINISTRASI PERIZINAN
Salah satu fenomena pembangunan
pariwisata di Kota Batu adalah banyak bangunan yang tidak memiliki dokumen
perizinan sesuai ketentuan yang berlaku. Pada tahun 2018, untuk izin mendirikan
bangunan(IMB) Kepala seksi (Kasi) Dinas Penaman Modal, Syivai Aviyati
mengatakan bahwa sejak tahun 2009 hingga 2017 hanya sekitar 6000-an bangunan
yang memiliki dokumen IMB, sebagian IMB masih ikut Kabupaten Malang, dan
lainnya yang belum terdata kami perkirakan masih banyak[1].
Pada tahun 2018, Malang
Corruption Watch mengirimkan permohonan informasi kepada Dinas Penanaman Modal
Terpadu Satu Pintu (BPM-PTSP) terkait status perizinan di Kota Batu diantaranya
Museum Angkut, Predator Fun Park dan Jatim Park 3 dengan status sebagai berikut
:
Taman Wisata Hiburan
|
Kelengkapan Izin
|
Keterangan
|
Dino Park (JTP 3)
|
KRK, IMB, Izin Prinsip, SIUP,
TDP, Izin Lokasi
|
Tidak mempunyai dokumen amdal
dan bermasalah dengan masyarakat Junrejo
|
Predator Fun Park
|
SIUP, TDP, Izin Lokasi, IMB
|
Belum memenuhi Amdal, dibangun
dulu izin belakangan
|
Museum Angkut
|
IMB
|
Tidak Mempunyai Izin Prinsip
hingga IMB
|
Rock Star
|
|
Tidak mempunyai IMB dan izin
prinsip sebagai hotel justru berdiri sebgai karaoke. (Sudah mengalami Penutupan)
|
Hotel Ubud
|
|
Sudah berdiri 6 tingkat Tidak
mempunyai dokumen IMB. (Pemberhentian
Sementara)
|
Sambel Apel
|
|
Sudah berdiri 3 tahun tidak
mempunyai dokumen IMB dan izin prinsip sebagai guest house malah berdiri
karaoke. (Proses Pemberhentian)
|
Data diolah oleh MCW
Sehingga berdasarkan tabel diatas setidaknya
mengambarkan beberapa poin Pertama belum
terbangunnya indepedensi Aparatur Sipil Negara (ASN). Birokrat tidak berani
dalam melakukan pengawasan hingga penindakan sehingga cenderung diskriminatif. Kedua belum dibangunnya keterbukaan
informasi perizinan sehingga menyebabkan angka partisipasi masyarakat rendah
dalam pengawasan perizinan di Kota Batu.
Kemudian, Dalam investigasi MCW ada
beberapa modus perizinan yang terjadi di masyarakat Kota Batu. (1) Tanda tangan
amdal melalui Kerja bakti atau rapat. Modus yang digunakan oleh korporasi dalam
konsultasi Amdal ialah memanipulasi tanda tangan masyarakat sebagai persetujuan
terhadap pembangunan. Modus yang digunakan ialah melakukan penyelipan dokumen di
dokumen kedua sehingga masyarakat tidak tahu bahwa itu merupakan tanda tangan
amdal sebagai pelancaran perizinan.
(2)Modus tersedianya lapangan
pekerjaan : Iming-iming terhadap lapangan pekerjaan merupakan modus lama yang digunakan
oleh perusahaan. Biasanya sebelum pembangunan warga desa diajak kumpul untuk
sosialisasi pembangunan. Dalam rapat tersebut warga dipaparkan pembangunan desa
ke depan dan adanya lapangan pekerjaan.
(3)Modus pemberian pastel dan barang
lainnya : Pemberian pastel biasanya dilakukan sebagai ucapan terimakasih
terhadap masyarakat akan pembangunan. Biasanya juga terdapat uang kisaran 50
hingga 100 rb agar masyarakat mau mendatangani dokumen amdal sebgai persetujuan
pembangunan itu.
Padahal
apabila kita lihat modus diatas hanya untuk kepentingan pelolosan dokumen amdal
atau kepentingan investor. Namun, faktanya ketika investor sudah mendapatkan
dokumen amdal dan selesai mendirika bangunan janji-janji mengenai lapangan
pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi hanya bualan semata. Masyarakat hanya
dijadikan sebagai penonton atau korban dari kebijakan pembangunan. Disisi lain,
kasus di Kota Batu banyak bangunan yang sudah mempunyai legalitas amdal tapi
masih menyebabkan pencemaran berupa limbah kepada masyarakat sekitar.
KESIMPULAN
Berdasar argument diatas, Pariwisata
di Kota Batu tentu sangat perlu dilakukan sebgai evaluasi. Pertama Kebijakan kepariwisataan Kota Batu mengalami kontradiksi
dengan apa yang dicita-citakan masyarkat Kota Batu. masyarkat yang berharap
paradigma pariwisata demi kesejahteraan masyrakat justru terjadi ketimpangan
dan kesenjangan sosial makin meningkat. Kedua,
Pariwisata justru menyebabkan penurunan ketahanan pangan yang semakin tajam.
Hal ini menyebabkan meningkatnya harga pangan karena barang akan semakin
langka. Selain itu, Pariwisata di Kota Batu mengalami kasus maladministrasi
yang sangat banyak. Hal ini tentu hanya mengakomodasi kepentingan investor tanpa
memperhatikan dampak lingkungan, ketahanan pangan, antarfungsi kawasan yang
sesuai dengan amanat pembangunan berkelanjutan.
REKOMENDASI
1. Pemerintah
Kota Batu dalam hal ini Walikota beserta DPRD segera melakukan evaluasi
Kebijakan Pembangunan Pariwisata sebagai upaya tegas merefleksikan serta
mensinkronkan tujuan dan implementasi kebijakan pariwisata.
2. Mendesak
Pemkot Batu untuk menjaga indepedensi dalam melakukan pencacatan pengawasan
hingga penindakan dalam masalah perizinan di Kota Batu
3. Mendesark Pemkot Batu untuk melakukan
keterbukaan informasi dalam pengelolaan perizinan di Kota Batu.
Comments
Post a Comment