Buruk Pengelolaan: Pajak Daerah tidak Banyak Menyumbang terhadap PAD Kota Batu



Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan pendapatan pokok yang diperoleh setiap daerah melalui pengelolaan kekayaan daerah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara konsepsi, pendapatan asli daerah secara jelas diatur melalui pasal 22 peraturan pemerintah nomor 58 rahun 2005  tentang pengelolaan keuangan daerah. bahwa pendapatan asli daerah terdiri dari pajak derah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang di pisahkan. Dan lain-lain PAD yang sah. Maka, variabel PAD menjadi komponen penting dalam mengukur kedewasaan penyelenggaraan otonomi daerah terutama pada konteks pengelolaan kekayaan daerah sebagai pendapatan asli daerah.
Menyoal Korelasi; Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan dampaknya terhadap Penyempitan Lahan Pertanian.
Kota Batu adalah salah satu daerah yang dikenal dengan kekayaan sumberdaya yang melimpah. Selain karena pertanian dan alamnya, pariwisata juga didengungkan sebagai salah satu strategi percepatan pertumbuhan ekonomi di Kota Batu. terbukti, dari data PBS Kota Batu dalam angka (2017), disebutkan bahwa, Pertumbuhan ekonomi Kota Batu tahun 2017 cukup sebesar yakni 6,56%. Angka tersebut setidaknya digerakkan oleh 2 sektor paling tinggi, yaitu sektor konstruksi (9%) dan penyediaan akomodasi dan makanan (8,75%). Pertumbuhan paling kecil ada pada sektor pertambangan dan penggalian (2,30%)[1]. Salah satu indicator penting yang menopang tingginya pertumbuhan ekonomi adalah besarnya angka PAD yang diperoleh. Brata (2004) yang dikutip oleh Adi dan Harianto (2007) menyatakan bahwa terdapat dua komponen penerimaan daerah yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah yaitu PAD serta sumbangan dan bantuan. Senada dengan itu, Pujiati, (2008) menyebutkan bahwa, dengan adanya kewenangan daerah dalam mengoptimalkan PAD sehingga komposisi PAD sebagai penerimaan daerah juga meningkat. Peningkatan PAD yang dianggap sebagai modal, secara akumulasi akan lebih banyak menimbulkan eksternalisasi yang bersifat positif dan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi[2].
Meski demikian, jika ditelaah lebih jauh ternyata besarnya nilai pertumbuhan ekonomi Kota Batu tidak serta merta dapat menyelesaikan beberapa persoalan krusial seperti kesenjangan anggaran (PAD) terhadap potensi daerah, dan tingginya angka kemiskinan di Kota Batu. hal itu dikarenakan;
Pertama, nilai PAD yang diperoleh setiap tahunnya tidak signifikan dengan potensi daerah yang tersedia termasuk pendapatan pada sektor pariwisata sebagai potensi unggulan Kota Batu. padahal, sekilas tertampak oleh mata bahwa perkembangan pariwisata berserta bebagai komponen pendukungnya (hotel, vila, homestay, permainan dan hiburan) bertaburan di Kota Batu yang secara jelas mendatangkan manfaat PAD bagi Kota batu, justeru tidak demikian adanya. jika dilihat, secara umum PAD yang diperoleh dari kedua sumber (pajak dan retribusi daerah) rata-rata sebagai berikut. pendapatan pajak: 2014 Rp 62.8 Miliyar dari anggaran 50 Miliyar; 2015 sebesar Rp 83.6 Milliyar dari anggaran sebesar Rp 75 Milliyar; 2016 Rp 88.7 Milliyar dari anggaran 94.1 Milliyar; dan 2017 sebesar RP 113.8 Milliyar dari anggaran sebesar Rp 106.1 Milliyar. Sementara disektor retribusi, realisasi Pendapatan rata-ratanya sebagai berikut; tahun 2014 sebesar Rp. 4.4 Milliyar dari anggaran sebesar Rp. 7.3 Milliyar; 2015 sebesar Rp. 5.2 Milliyar dari anggaaran sebesar Rp. 6.8 Milliyar; 2016 sebesar Rp. 5.8 Milliyar dari anggaran sebesar Rp. 7.3 Milliyar; dan tahun 2017 sebesar Rp. 4.8 Milliyar dari anggaran sebesar Rp. 7.6 Milliyar. kondisi diatas menggambarkan Pola pengelolaan PAD yang timpang atau cenderung eksploitatif. dalam pengertian, penerimaan Nilai PAD tidak sebanding dengan keseluruhan potensi daerah yang dimiliki. kondisi demikian yang dalam istilahnya Tambunan (2016:36) disebut sebagai eksploitasi PAD berlebihan justeru semakin membebani masyarakat, menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian secara makro, (Mardiasmo, 2002:87)[3].
Kedua. Anggka kemiskinan meningkat 0.12 poin atau bertambah 4.7%. ( baca data kemiskinan Kota batu 2017), kepala Bappeda Kota Batu menjelskan bahwa, presentasi jumlah penduduk miskin di Kota Batu meningkat 0.12 poin dibanding tahun 2014. Atau total sekitar 9.430 (4.7%) penduduk miskin dari total 218.806 Jiwa penduduk di Kota batu. artinya, besarnya angka pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengurangan angka kemiskinan di Kota Batu, tapi justeru negative dan signifikan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah kemiskinan di Kota Batu. kondisi seperti ini dipengaruhi oleh banyak hal. Termasuk rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari kebijakan pembangunan yang cenderung pada pelebaran industry pariwisata dan secara cepat melahap habis sektor pertanian sebagai basis pertumbuhan ekonomi masyarakat Kota Batu. siregar dan wahyuniarti (2007), bahwa dalam upaya penanggulangan kemiskinan dubutuhkan suatu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan. Yang dimaksud pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan adalah dengan menyediakan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui pembangunan industry pertanian yang berpengaruh kuat dalam mengurangi kemiskinan[4].
ketiga, jumlah luas lahan pertanian berkurang. Bahwa, nilai pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sektor konstruksi dan penyediaan akomodasi dan makanan terutama konstruksi dengan cepatnya menggerus lahan pertanian di Kota Batu. terbukti dari, data sensus pertanian sebagaimana dikutip dari koran tempo.co Batu (12/04/2015), bahwa “pada tahun 2003, jumlah petani di Batu masih sebanyak 19.326 rumah tangga, sedangkan pada tahun 2013 berkurang menjadi 17.358. tidak hanya petani, luas lahan pertanian juga turut menciut 11.5 persen. Pada tahun 2003 luas lahan mencapai 2.681 hektar, sepuluh tahun kemudian menyusut dan tersisa 2.373 hektar. Lahan pertanian berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman, hotel, restoran dan sektor bisnis lainnya[5]”. Jika demikian maka, dapat diproyeksikan bahwa, sepuluh tahun kedepan lahan pertanian akan semakin terkikis dan jumlah petani akan semakin berkurang akibat kehilangan lahan pertanian atau kebijakan subsitensi yang akut terjadi di Kota Batu.
Potret Pengelolaan pajak Dearah Kota Batu
Sekalipun trand PAD pada sektor Pajak Daerah terlihat meningkat selama beberapa tahun belakangan (2014-2017), akan tetapi dari hasil kajian dan analisis Malang Corruption Watch (MCW) terhadap pengelolaan pajak daeah Kota Batu menunjukan adanya kondisi insignifikansi antara penerimaan PAD yang diperoleh dari disektor pajak daerah dengan sejumlah potensi daerah yang dimiliki.
Tren tahunan pajak daerah 2013-2017
Sebagai kota pariwisata, sebagian besar wisatawan banyak mengunjungi beberapa tempat berikut, diantaranya:

Grafik 1.1 Ranking Penerimaan Pajak Daerah Kota Batu Tahun 2013-2017
Berdasarkan data diatas, maka dapat kita lihat bahwa 5 sektor penerimaan pajak daerah terbesar dalam 5 tahun terakhir adalah penerimaan pada BPHTB (Bea Pajak Hasil Tanah dan Bangunan), disusul Pajak Hotel, PBB, Pajak Hiburan, dan Pajak Penerangan Jalan. Sementara untuk pajak parkir, pajak air bawah tanah dan pajak reklame terbilang sangat minim.
Meski demikian, lima sektor pajak terbesar sebagaimana dijelaskan pada grafik diatas masih menyisahkan berbagai persoalan dibelakangannya yang justeru mengindikasikan adanya ketidak wajaran antara jumlah PAD yang diperoleh dengan potensi ril yang dimiliki oleh Kota Batu serta berbagai piutang pajak yang mengendap selama beberapa tahun belakangan. misalnya:
1.      Piutang yang bermasalah
a.      Ketidakjelasan Status Piutang Pajak
Dalam LHP LKPD Kota Batu tahun 2014, disebutkan bahwa terdapat piutang pajak hiburan yang tidak diakui oleh WP sebesar Rp 24.555.376.610 (sudah diterbitkan SKPDKB). Berikut adalah daftar piutang yang tidak diakui:

No.
Wajib Pajak
Nilai Piutang
1
TR BNS
3.786.756.542
2
TR JP I
14.529.110.974
3
TR JP II
5.832.045.867
4
TR Se
167.648.227
5
Panti Pijat DGD
239.815.000

TOTAL
24.555.376.610
Tabel 1.1 Daftar piutang tidak diakui[6]
Tidak hanya menjadi temuan dalam LHP BPK tahun 2014, ini juga kembali menjadi temuan BPK tahun 2017. Bahkan nominalnya semakin bertambah menjadi sebesar Rp 25.710.560.884[7].
b.      Piutang macet dan tidak dapat tertagih
LHP LKPD Kota Batu 2015 juga menjelaskan beberapa piutang yang menurut pemerintah merupakan piutang yang macet dan tidak dapat ditagih. Seperti pada tabel berikut:

Jenis pajak
Tahun
Nilai Piutang
Kategori
Pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak parkir (JTP Group)
2004-2009

4.780.570.826
Macet
Pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak parkir
2010-2014
19.930.908.141
Tidak Dapat Ditagih
TOTAL

24.711.478.967

Table 1.2. Daftar Piutang Macet dan Tidak Dapat Ditagih per Desember 2015[8]

Berdasarkan hasil konfirmasi BPK, pemerintah telah melakukan upaya penagihan piutang pajak yang macet dan tidak tertagih diatas kepada JTP 1, JTP II, Hotel PI, dan BNS, namun tidak mendapatkan respon sebagaimana mestinya. Kota Batu juga belum memiliki prosedur yang jelas untuk melakukan verifikasi, validasi, dan penyelesaian piutang pajak. Sehingga piutang tersebut belum mempunyai pola penyelesaian yang jelas.[9]
Jika memang pemerintah yang dalam hal ini Dispenda yakin bahwa piutang sebesar 24,7 Miliar itu merupakan miliknya, seharusnya pemerintah melakukan upaya-upaya penegakan hukum seperti yang diamanatkan dalam Perda No. 6 tahun 2010 jo. Perda No. 2 tahun 2012 tentang Pajak Hiburan. Upaya-upaya penagihan melaui surat teguran, surat paksa, bahkan penyitaan dapat dilakukan oleh Dispenda untuk menyelesaikan ketidakjelasan status piutang pajak ini.
Pengklasifikasian piutang macet dan tidak dapat ditagih oleh Dispenda juga tidak sesuai dengan Peraturan Walikota Nomor 46 Tahun 2014 bahwa piutang dapat dikatakan macet apabila memiliki kriteria sebagai berikut:
a.      umur piutang diatas 5 (lima) tahun
b.      wajib pajak tidak ditemukan
c.       wajib pajak bangkrut/meninggal dunia
d.      wajib pajak mengalami musibah (force majeure)
Berdasarkan kriteria tersebut, objek pajak yang digolongkan sebagai piutang macet oleh Dispenda hanya memenuhi 1 kriteria saja, yaitu usia piutang yang diatas 5 tahun. Sementara alasan lain yang digunakan oleh Dispenda adalah adanya perbedaan pengakuan piutang dengan WP. Tentu alasan ini tidak dapat dijadikan alasan mengenai pengklasifikasian piutang macet dan tidak tertagih.
Dampak dari pengklasifikasian piutang ini tentu saja berimplikasi pada upaya penagihan, seharusnya Dispenda Kota Batu lebih mengutamakan untuk melakukan upaya-upaya paksa, bahkan sita terhadap WP yang tidak taat pajak. Akan tetapi yang terjadi selama ini adalah pembiaran terhadap piutang macet dan tidak dapat ditagih itu. Hal ini terlihat dari jumlah piutang pajak hiburan yang berusia 2 sampai lebih dari 5 tahun meningkat hingga mencapai angka Rp 26.077.745.311[10].
c.       Perpindahan wewenang pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan
Mulai awal tahun 2013, Pemerintah Kota Batu mengambil alih kewenangan pengelolaan PBB-P2 Kota Batu. Hal ini sejalan dengan Peraturan Bersama Menteri Keuangan Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah, bahwa paling lambat desentralisasi dilakukan di awal tahun 2014. Atas desentralisasi tersebut, pemerintah Kota Batu menerima limpahan daftar piutang PBB dari KPP Pratama Kota Batu.
Hal yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa Pemerintah Kota Batu belum memvalidasi data piutang PBB senilai 14.764.577.225. Dimana nilai piutang tersebut merupakan akumulasi piutang PBB sejak tahun 1996. Pada tahun 2014, masalah ini juga belum dituntaskan.[11] Terdapat beberapa permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan PBB ini, antara lain:
1.      Perbedaan saldo awal nilai piutang BAST dengan SISMIOP
Dalam lampiran BAST (Berita Acara Serah Terima) Data Piutang PBB–P2 dan Aset Sitaan dari KPP Pratama Kota Batu Nomor BA-4/WPJ.12/KP.04/2013 nilai Piutang PBB-P2 per 31 Desember 2012 sebesar 14.764.577.225.  sementara dalam Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak (SISMIOP) tercatat sebesar 18.813.864.677. Dalam hal ini, Dispenda tidak dapat menjelaskan rincian masing-masing NOP (Nomor Objek Pajak) yang sudah atau belum membayar, karena selama ini masyarakat membayar PBB secara umum kepada pemerintah desa/kelurahan.
2.      Perbedaan nilai piutang PBB pada neraca dengan SISMIOP per Desember 2014
Menurut pengakuan Kepala Dispenda, pihaknya belum dapat menelusuri selisih tersebut karena belum melakukan validasi dan verifikasi.
3.      Tim pendataan PBB tidak maksimal
Untuk menyelesaikan masalah PBB-P2, Dispenda membentuk Tim Pendataan Ulang dan Verifikasi Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Pelimpahan dari KPP Pratama Kota Batu yang ditetapkan oleh Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Nomor 180/154/KEP/422.111/2015 pada tanggal 2 Juli 2015. Tim tersebut bertugas memverifikasi piutang PBB tahun 2008-2012. Berikut adalah hasil dari validasi dan verifikasi atas piutang PBB.

Tahun
Data Piutang PBB SISMIOP (Rp)
Hasil Verifikasi dan Validasi Berd. Data Desa (Rp)
Selisih
2008
769.361.944
592.528.500
176.883.444
2009
1.309.391.969
792.131.524
517.260.445
2010
1.685.131.353
1.137.186.572
547.944.781
2011
2.087.264.754
1.465.953.911
621.310.843
2012
3.656.801.789
1.820.105.345
1.836.696.444
JUMLAH
9.507.951.809
5.807.905.852
3.700.045.957
Sumber: LHP BPK kota Batu Tahun 2008-2012
Dalam data tersebut masih terdapat selisih sebesar 3,7 Miliar. Selisih tersebut belum dapat dipastikan mengenai kejelasannya karena Kepala Bidang Penagihan masih dalam proses penagihan dan pengumpulan buktipembayaran PBB dari wajib pajak.
4.    Pemungutan PBB tidak Optimal
Dalam hal penyampaian SPPT, Dinas Pendapatan dapat dibantu oleh petugas kecamatan, kelurahan/desa, RW, atau RT. Hal ini juga yang telah dilakukan oleh Dinas Pendapatan, akan tetapi dalam praktiknya kurang optimal. Kepala Seksi Penagihan Dispenda, Kepala Seksi Pemerintahan dan Petugas PBB Kelurahan Sisir dan Perangkat Desa Sumberejo menjelaskan beberapa masalah berikut:
a.       Adanya perbedaan data pembayaran antara warga dengan KPP. Ada yang bisa menunjukkan bukti pembayaran, namun ada juga yang tidak dapat menunjukkannya. Pihak desa juga menyampaikan bahwa ada desa yang telah lunas pembayaran PBB ke KPP Pratama. Atas hal tersebut, ternyata KPP Pratama menjelaskan bahwa lunas ada tiga, yaitu lunas baku, lunas pokok, dan lunas target, akan tetapi untuk hal tersebut KPP Pratama tidak menjelaskan lebih lanjut ke Dispenda.
b.      Dispenda tidak memiliki rincian atas beberapa SPPT yang tidak sesuai. Misalnya obyek pajak yang tercantum dalam SPPT tidak ada, SPPT untuk fasilitas umum Kota Batu, luas tanah dalam SPPT berbeda dengan yang sesungguhnya, dan SPPT yang double atas objek pajak yang sama.
c.       Banyaknya pemilik tanah yang berasal dari luar Kota Batu mempersulit perangkat desa untuk menyampaikan SPPT
d.      Ada tanah yang penjualannya tidak dilaporkan kepada perangkat desa, sehingga pemilik tanah yang baru tidak diketahui perangkat desa.
Dengan demikian maka, dapat dipastikan bahwa persoalan Pajak PBB di Kota Batu masih banyak menyisahkan kejanggalan, dan ketidak jelasan dalam pengelolaannya sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. disisi lain, jika mengacu pada nilai piutang yang mengendap, trennya selalau meningkat dalam beberapa tahun terkahir, Bahkan hingga akhir tahun 2017 piutang pajak PBB mencapai angka Rp 31.3 milliyar. Berikut adalah rincian piutang pajak PBB selama 5 tahun terakhir (2013-2017).
Tabel, Tren piutang PBB Kota Batu dari tahun 2013-2107
No
Tahun
Piutang

2013
Rp 2.180.186.079

2014
Rp 3.688.562.551

2015
Rp 21.172.138.776

2016
Rp 26.395.847.022

2017
Rp 31.377.751.191
Sumber: LHP-BPK Kota Batu tahun 2017
Dugaan Penyelewengan atas Dana Hasil Setoran PBB di Desa Sumberejo.
Berdasarkan hasil aduan masyarakat Desa Sumberejo, Kecamatan Batu Kota Batu pada tanggal 31 Agustus 2018 lalu, menyampaikan bahwa adanya dugaan penyelwengan dana PBB dari hasil setoran warga yang dilakukan oleh pemerintah Desa. berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh beberapa warga Desa Sumberejo bahwa, sesungguhnya warga Desa sangat aktif dalam melaksanakan kewajiban pajaknya dengan menyetor kepada petugas pemungutan PBB yang ditugaskan oleh Pemerintah Desa. akan tetapi, hasil setoran tersebut justeru tidak ditindaklanjuti dengan baik dan benar oleh pemerintah Desa kepada pemerintah Kota sehingga, dalam catatan Dispenda Kota Batu Justeru tidak tercatat sebagai pendapatan pajak yang diperoleh dari setoran wajib pajak. Hal tersebut diketahui dari beberapa keterangan warga dan bukti prinan dari Dispenda Kota Batu tentang data pajak warga Desa Sumberejo yang menerangkan bahwa terdapat sejumlah warga yang tidak menyetorkan kewajiban pajaknya selama tujuh (7) tahun (2010-2017) bertut-turut sehingga berpotensi merugikan warga Desa Sumberejo (wajib pajak) dan mengurangi pendapatan Asli daerah Kota Batu.
Belajar dari Kabupaten Badung
Sebagai pembanding, tidak bermaksud untuk menegasikan atau menghilangkan kewenangan otononi daerah pemkot Batu dalam hal pengelolaan sumberdaya dan mengatur urusan rumah tangga termasuk pengelolaan kekayaan daerahbya. Akan tetapi, pada poin ini semata-mata dilakukan untuk melihat keterkaitan dan kesamaan kebijakan pariwisata sebagai strategi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemandirian keuangan daerah. dilain sisi, tujuan perbandingan ini dimaksudkan untuk memunculkan berbagai contoh baik dalam pengelolaan pajak Daerah.
Secara umum, kabupaten badung memliki kesamaan geografis dan kekayaan alam yang mirip dengan Kota Batu. selain itu, pada konteks kebijakan pembangunan juga mirip, masing-masing mendengungkan pariwisata sebagai salah satu kebijakan strategis untuk mendorong peningkatan PAD daris sektor pariwisata dan hiburan. Namun yang menarik dari kedua daerah ini adalah, kabupaten badung mampu dengan cepat mendongkrak PAD-nya melalui kebijakan pariwisata, sementara Kota Batu relative tidak maksimal dalam implementasinya. Selain itu, salah satu keunggulan dari Kebijakan pariwisata kabupaten Badung adalah memperbanyak wisata Ekologi dan budaya sebagai sektor unggulan yang dapat menarik perhatian para penghunjung baik dalam maupun luar Negeri. Termasuk memanfaatkan berbagai komponen pariwisata seperti perhotelan/penginapan, dan Restoran sebagai sumber PAD, bahkan kedua komponen tersebut menjadi sektor yang banyak menyumbang terhadap PAD kabupaten Badung.
 Rata-rata PAD kabupaten badung secara signifikan meningkat dari tahun ke tahun. Terhitung, pada tahun 2013, penerimaan PAD sebersar Rp 2 Triliun dan naik menjadi 2.4 Triliun di tahun 2014 (baca;Tribun Bali:selasa, 1/04/2015), Selanjutnya, pada tahun 2017 PAD Kabupaten badung secara signifikan naik menjadi 4.7 Triliun, bahkan akan ditargetkan dalam KUA PPAS 2018 sebesar 5.7 Triliun. Sektor yang paling besar menyumbang terhadap PAD Kabupaten Badung adalah sektor pajak dan Retribusi daerah. utamanya, untuk pajak Hotel dan Restroran hingga pada tahun 2017, mampu menyumbang terdahap PAD sebesar 2 triliun, (baca: AntaraNews: selasa, 18/07/2017). Keberhasilan semcam ini sudah pasti dipengaruhi oleh banyak hal termasuk bagaimana memanfaatkan beberapa sektor di bawah ini.
Jumlah  hotel.
Berdasarkan data BPS kabupaten badung tahun 2015, jumlah hotel dengan kategori bintang dari tahun 2011- 2015 sebanyak 155 hotel dengan jumlah kamar sebanyak 24.683 kamar. berikut rinciannya. 
Tabel Jumlah Hotel Bintang dan Kamar Tersedia di Kabupaten Badung dari tahun 2011-2015
No
Fasilitas akomodasi
Hotel bintang
2011
2012
2013
2014
2015
2016

Jumlah akomodasi
98
98
98
98
155
155

Jumlah kamar
16.360
16.360
16.360
16.360
24.683
24.683
Sumber Data BPS kabupaten badung tahun 2015
jumlah objek wisata
berdasarkan data badung dalam angka tahun 2017, jumlah objek wisata yang tersedia sebanyak 36 tempat wisata dengan jenis dan lokasinya. Dari 36 objek wisata yang tersedia, jenis wisata alam dan budaya masih menjadi ciri khas yang dominan dari keseluruhan jumlah objek wisata yang tersedia. Berikut rinciannya.
No
Jenis wisata
Jumlah
1
Wisata alam
25
2
Wisata budaya
7
3
Wisata buatan
1
4
Wisata alam & buatan
1
5
Wisata alam dan satwa
1
6
Wisata remaja
1

Total
26
Sumber; badung dalam angka 2017
jumlah penghunjung :
dari data yang dihimpun melalui badung dalam angka tahun 2017 diterangkan bahwa, jumlah kunjungan wisata sepanjang tanun 2013-2016 sebagai berikut.
No
Jenis kunjungan
2013
2014
2015
2016

Nusantara
590.178
482.147
462.808
877.660
Sumber: kabupaten Badung dalam angka 2017
jumlah restoran:
jumlah restoran kabupaten Badung selama tahun 2114-2016  sebagaimana diterangkan pada  data badung dalam angka tahun 2017 adalah sebagai berikut.
No
Tahun
Jumlah restoran
Jumlah kursi
1
2014
668
50.207
2
2015
805
66.575
3
2016
966
86.388
Sumber: kabupaten Badung dalam angka 2017
Tarif pajak berdasarkan jenis pajak daerah Kabupaten badung adalah sebagai berikut.
No
Jenis Pajak daerah
Tarif Pajak
Dasar Hukum
1
Pajak Hotel
10 %
Pasal 6 perda nomor 15 tahun 2011 tentang pajak Hotel
2
Pajak restoran
10%
Pasal 6 perda nomor 16 tahun 2011 tentang pajak restoran
3
Pajak Hiburan
10%
Pasal 6 perda nomor 22 tahun 2011 tentang pajak hiburan
Sumber: kabupaten Badung dalam angka 2017
Tentu kondisi diatas patut diapresiasi dan di contohi oleh banyak daerah terkhusus pemerintah Kota Batu. salah satu unsur penting dari keberhasilan Pemkab Badung dalam mengelola potensi daerah untuk mendongkrak PAD adalah selain karena kualitas dan kompetensi SDM aparatur pemerintahan daerah, juga dipengaruhi dengan kuatnya penerapan nilai dan prinsip Good Dofenrnance sebagai dasar implementasi tugas dan tanggungjawabnya secara akuntabel, dan transparan. Selain itu, kebijakan daerah Kabupaten badung tentang pengelolaan Pajak Daerah secara online sebagaimana diformulasikan melalui perda nomor  2 tahun 2016 tentang sistem Online pajak Daerah juga turut mendukung penyelenggaraan pajak daerah yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Maka tidak heran jika, Pemkab Badung mampu secara maksimal mengelola kekayaan daerahnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan Kota Batu, yang terjadi justeru memunculkan berbagai kejanggalan-kejanggalan yang mengarah pada buruknya pengelolaan pajak daerah. Berikut adalah catatannya.
Jumlah Hotel di Kota batu
Berdasarkan hasil penelusuran MCW pada Dokumen Batu dalam angka tahun 2017 diterangkan bahwa, jumlah hotel di Kota batu dari tahun 2014 sebanyak 500, dan naik menjadi 550 hotel pada tahun 2015 dan 2016. Termasuk jumlah kamar Hotel juga meningkat dari dalam kurung waktu tiga tahun terakhir (2014-2016). berikut adalah rinciannya.
Tabel, Indicator perhotelan kota batu 2014-2016
No
Uraian
2014
2015
2016
1
Jumlah hotel
500
550
550

Jumlah kamar
5.484
6.066
6.066
Sumber; Kota Batu dalam angka tahun 2017
Jumlah titik pajak parkir Kota Batu
sementara untuk pajak parkir, sejauh ini baru ada 20an titik pajak parkir yang dikelola (belum termasuk yang tidak teridentifikasi sebagai sumber PAD) dan sudah menyumbang terhadap PAD sebesar Rp 1.1 Milliyar pada tahun 2016 dan naik sebesar Rp 1.5 Milliyar di tahun 2017, (baca:malangVoice; 7.01.2017). sehingga, besar kemungkinan terdapat banyak titik pajak parkir yang belum termonitor oleh pemkot Batu. hal itu juga yang mempengaruhi mengapa pendapatan pajak parkir relative rendah. sebab, jikan mengacu pada penjelasan pasal 2 ayat 2 perda Kota batu nomor 2 tahun 2010 tentang pajak parkir, sangat jelas menerangkan bahwa “Obyek pajak adalah penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor” artinya, pada kondisi ril, kota batu memili berbagai objek usaha, baik objek wisata, hiburan, restoran, hotel dll yang secara otomatis menyediakan fasilitas parkir. Maka patut dipertanyakan, apakah benar nilai Pendapat pajak parkir tahun 2017 sebesar  1.5 Milliyar adalah hasil pengelolaan dari 20an titik parkir saja atau justeru lebih namun pengelolaannya tidak terbuka.
Jumlah objek Wisata kota Batu
Sejauh ini, pemkot Batu memiliki sejumlah objek wisata yang dikelola. Berdasarkan data Kota Batu dalam angka tahun 2017, jumlah objek wisata kota Batu sebanyak 25 objek wisata. Dari keseluruhan objek wisata yang tersedia, rata-rata wisatawan yang berkunjung relative banyak. Setidaknya, pada tahun 2016, jumlah kunjungan wisatawan Kota Batu mencapai 506.583 jiwa. Angka tersbut lebih banyak dari jumlah penghunjung sebelumnya yakni tahun2015 sebanyak 275.575 pengunjung. Maka terjadi peningkatan jumlah pengunjung pada tahun 2016 sebanyak 231.008 jiwa. Jumlah tersebut jika dikaitkan dengan tariff pajak hiburan sebagaimana diatur dalam pasal 6 huruf e dan f perda kota Batu nomor 2 tahun 2012 tentang pajak hiburan bahwa “ tarif pajak untuk pameran termasuk pameran taman wisata buatan dikenakan tariff sebesar 10% dan 7.5% untuk pendidikan taman wisata”. maka, pemkot batu semestinya bisa memperoleh pendapatan lebih pada disektor pajak Hiburan. Karena jika dibandingkan, perbedaan jumlah wisata kota batu dengan Kabupaten badung hanya selisih 1 angka. Kota Batu dengan jumlah 25 objek wisata, sementara kabupaten badung 26 objek wisata yang sama-sama dikelolan sebagai sumber Pendapatan. Tapi pertanyaanya, mengapa pemkab Badung bisa memperoleh pendapatan lebih sementara Kota Batu tidak?
Tarif pajak berdasrkan jenis pajak daerah Kota Batu.
No
Jenis Pajak daerah
Tarif Pajak
Dasar Hukum
1
Pajak parkir
30 %
Pasal 6 perda nomor 2 tahun 2010 tentang pajak parker
2
Pajak hotel
10%
Pasal 6 perda nomor 5 tahun 2010 tentang pajak hotel
3
Pajak Hiburan
dari 5%-25%
Pasal 6 perda nomor 2 tahun 2012 tentang pajak hiburan

Pajak restoran
10%
Pasal 6 perda Nomor 3 Tahun 2010

Artinya, ada kesamaan antara Kabupaten badung Dengan Kota batu dalam hal penetapan tarif pajak pada beberpa jenis pajak seperti pajak hotel, pajak hiburan, dan pajak restoran. Masing-masing dengan besaran tarif adalah 10% dari setiap penyelenggaraan objek pajak. Akan tetapi, yang menajdi persoalan adalah apakah dalam tahap implementasi, Kota Batu melakukan upaya penegakan yang sama seperti yang terjadi di Kabupaten badung atau malah sebaliknya. Karena Kab. Badung dengan segala kebijakan pajaknya, dapat mendorng pelaksanaan pajak daerah yang adil dan memberi dampak ekonomis yang besar bagi PAD Kabupaten Badung.
Kesimpulan dan Rekomendasi.
Berdasarkan hasil analisis atas berbagai persoalan diatan maka dapata disimpulkan bahwa, sistem pengelolaan keuangan daerah khususnya pada konteks pengelolaan PAD sangat buruk dan cenderung budgetary slack (kesenjangan anggaran) yang terlihat dari perencanaan tidak berbasis potensi daerah, pelaksanaan relative tidak mencapai target atau jika mencapai itu adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi kemampuan kerja birokrasi semata, dilain sisi penindakan terhadap berbagai persoalan piutang cenderung lemah dan terindikasi pembiaran serta sistem evaluasi yang tidak komprehensif sehingga tidak memumculkan proyeksi dan strategi yang relevan dilakukan untuk meminilasir atau menyelesaikan berbagai persoalan di atas. rendahnya integritas dan akuntabilitas para pejabat daerah dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan kewenang juga berpengaruh terhadap signifikan terhadap rendahnya PAD pada sektor Pajak dan Retirbusi Daerah. oleh karenanya, Malang Corruption Watcah (MCW) Merekomendasikan Beberapa Hal sebagai berikut:
1.      Pemerintah Kota Batu dalam Hal ini Walikota, Dispenda, dan Dinas Pariwisata Segere melakukan upaya penindakan tegas atas piutang Pajak Hiburan dan Meminta Kepada WP untuk segera membayar piutangnya sebagai bentuk pertanggungjawab atas usaha wisata hiburan yang beroperasi di Kota Batu.
2.      mendesak pemerintah Kota Batu untuk komitmen dan konsisten terhadap setiap kebijakan daerah termasuk Kebijakan Pajak dan retribusi daerah yang telah diduga tidak dilaksanakan dengan baik sehingga berimplikasi terhdap besarnya jumlah piutang pajak dan rertibusi pada satu sisi, dan rendah serta bocornya Pendapatan pajak dan retribusi daerah pada sisi yang lain.
3.      bahwa pemerintah Kota Batu baik eksekutif maupun legislative adalah lembaga yang memiliki kewenangan dan kekuasaan atas pengelolaan anggaran daerah termasuk pengelolaan pajak dan retribusi sebagai pendapatan Daerah. sehingga dalam pelaksanaanya, pemerintah bersama DPRD tidak boleh membiarkan atau mau diintervensi oleh siapapun termasuk sektor usaha yang bertujuan untuk menangguhkan piutang pajak yang nyata-nyatanya telah merugikan pemerintah Kota batu.




[1] BPS Kota Batu dalam angka 2017
[2] Relevansi PAD dengan pertumbuhan Ekonomi (2016)
[3] Relevansi PAD terhadap Pertumbuhan ekonomi (2016)
[4] Deni JS, (2017) “peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan di tingkat Provinsi di Indonesia 2004-2012
[5] Baca kompas.co.id batu (2015) “sensus pertanian Kota Batu tahun 2013
[6] Buku II LHP LKPD Kota Batu 2014 hal. 6
[7] LHP LKPD Kota Batu hal. 160
[8] Catatan Atas Laporan Keuangan LHP LKPD Kota Batu 2015 hal. 161
[9] Buku II LHP LKPD hal. 9
[10] LHP LKPD Kota Batu 2017
[11] Catatan Atas Laporan Keuangan LHP LKPD Kota Batu 2014 hal. 64

Bayu Agung Prasetya

Comments

Popular posts from this blog

Pendahuluan Bab 2

Sejarah Singkat Kota Batu

Belanja Wajib Pemerintah Batu turun