Buruk Pengelolaan: Pajak Daerah tidak Banyak Menyumbang terhadap PAD Kota Batu
Pendapatan asli daerah
(PAD) merupakan pendapatan pokok yang diperoleh setiap daerah melalui
pengelolaan kekayaan daerah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara
konsepsi, pendapatan asli daerah secara jelas diatur melalui pasal 22 peraturan
pemerintah nomor 58 rahun 2005 tentang
pengelolaan keuangan daerah. bahwa pendapatan asli daerah terdiri dari pajak
derah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang di pisahkan.
Dan lain-lain PAD yang sah. Maka, variabel PAD menjadi komponen penting dalam
mengukur kedewasaan penyelenggaraan otonomi daerah terutama pada konteks
pengelolaan kekayaan daerah sebagai pendapatan asli daerah.
Menyoal Korelasi; Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan dampaknya terhadap
Penyempitan Lahan Pertanian.
Kota
Batu adalah salah satu daerah yang dikenal dengan kekayaan sumberdaya yang
melimpah. Selain karena pertanian dan alamnya, pariwisata juga didengungkan
sebagai salah satu strategi percepatan pertumbuhan ekonomi di Kota Batu. terbukti,
dari data PBS Kota Batu dalam angka (2017), disebutkan bahwa, Pertumbuhan ekonomi Kota Batu tahun 2017 cukup sebesar yakni 6,56%.
Angka tersebut setidaknya digerakkan
oleh 2 sektor paling tinggi, yaitu sektor konstruksi (9%) dan penyediaan
akomodasi dan makanan (8,75%). Pertumbuhan paling kecil ada pada sektor
pertambangan dan penggalian (2,30%)[1]. Salah
satu indicator penting yang menopang tingginya pertumbuhan ekonomi adalah
besarnya angka PAD yang diperoleh. Brata (2004) yang dikutip oleh Adi dan
Harianto (2007) menyatakan bahwa terdapat dua komponen penerimaan daerah yang
berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah yaitu
PAD serta sumbangan dan bantuan. Senada dengan itu, Pujiati, (2008) menyebutkan
bahwa, dengan adanya kewenangan daerah dalam mengoptimalkan PAD sehingga
komposisi PAD sebagai penerimaan daerah juga meningkat. Peningkatan PAD yang
dianggap sebagai modal, secara akumulasi akan lebih banyak menimbulkan
eksternalisasi yang bersifat positif dan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi[2].
Meski
demikian, jika ditelaah lebih jauh ternyata besarnya nilai pertumbuhan ekonomi
Kota Batu tidak serta merta dapat menyelesaikan beberapa persoalan krusial
seperti kesenjangan anggaran (PAD) terhadap potensi daerah, dan tingginya angka
kemiskinan di Kota Batu. hal itu dikarenakan;
Pertama, nilai
PAD yang diperoleh setiap tahunnya tidak signifikan dengan potensi daerah yang
tersedia termasuk pendapatan pada sektor pariwisata sebagai potensi unggulan
Kota Batu. padahal, sekilas tertampak oleh mata bahwa perkembangan pariwisata
berserta bebagai komponen pendukungnya (hotel, vila, homestay, permainan dan
hiburan) bertaburan di Kota Batu yang secara jelas mendatangkan manfaat PAD
bagi Kota batu, justeru tidak demikian adanya. jika dilihat, secara umum PAD
yang diperoleh dari kedua sumber (pajak dan retribusi daerah) rata-rata sebagai
berikut. pendapatan pajak: 2014 Rp 62.8 Miliyar dari anggaran 50 Miliyar; 2015
sebesar Rp 83.6 Milliyar dari anggaran sebesar Rp 75 Milliyar; 2016 Rp 88.7
Milliyar dari anggaran 94.1 Milliyar; dan 2017 sebesar RP 113.8 Milliyar dari
anggaran sebesar Rp 106.1 Milliyar. Sementara disektor retribusi, realisasi
Pendapatan rata-ratanya sebagai berikut; tahun 2014 sebesar Rp. 4.4 Milliyar
dari anggaran sebesar Rp. 7.3 Milliyar; 2015 sebesar Rp. 5.2 Milliyar dari
anggaaran sebesar Rp. 6.8 Milliyar; 2016 sebesar Rp. 5.8 Milliyar dari anggaran
sebesar Rp. 7.3 Milliyar; dan tahun 2017 sebesar Rp. 4.8 Milliyar dari anggaran
sebesar Rp. 7.6 Milliyar. kondisi diatas menggambarkan Pola pengelolaan PAD
yang timpang atau cenderung eksploitatif. dalam pengertian, penerimaan Nilai
PAD tidak sebanding dengan keseluruhan potensi daerah yang dimiliki. kondisi
demikian yang dalam istilahnya Tambunan (2016:36) disebut sebagai eksploitasi
PAD berlebihan justeru semakin membebani masyarakat, menjadi disinsentif bagi
daerah dan mengancam perekonomian secara makro, (Mardiasmo, 2002:87)[3].
Kedua. Anggka
kemiskinan meningkat 0.12 poin atau bertambah 4.7%. ( baca data kemiskinan Kota
batu 2017), kepala Bappeda Kota Batu menjelskan bahwa, presentasi jumlah
penduduk miskin di Kota Batu meningkat 0.12 poin dibanding tahun 2014. Atau
total sekitar 9.430 (4.7%) penduduk miskin dari total 218.806 Jiwa penduduk di
Kota batu. artinya, besarnya angka pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pengurangan angka kemiskinan di Kota Batu, tapi
justeru negative dan signifikan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah
kemiskinan di Kota Batu. kondisi seperti ini dipengaruhi oleh banyak hal.
Termasuk rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari kebijakan
pembangunan yang cenderung pada pelebaran industry pariwisata dan secara cepat
melahap habis sektor pertanian sebagai basis pertumbuhan ekonomi masyarakat
Kota Batu. siregar dan wahyuniarti (2007), bahwa dalam upaya penanggulangan
kemiskinan dubutuhkan suatu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan
berkeadilan. Yang dimaksud pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan
adalah dengan menyediakan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat
melalui pembangunan industry pertanian yang berpengaruh kuat dalam mengurangi
kemiskinan[4].
ketiga, jumlah
luas lahan pertanian berkurang. Bahwa, nilai pertumbuhan ekonomi yang didominasi
oleh sektor konstruksi dan penyediaan akomodasi dan makanan terutama konstruksi
dengan cepatnya menggerus lahan pertanian di Kota Batu. terbukti dari, data
sensus pertanian sebagaimana dikutip dari koran tempo.co Batu (12/04/2015),
bahwa “pada tahun 2003, jumlah petani di Batu masih sebanyak 19.326 rumah
tangga, sedangkan pada tahun 2013 berkurang menjadi 17.358. tidak hanya petani,
luas lahan pertanian juga turut menciut 11.5 persen. Pada tahun 2003 luas lahan
mencapai 2.681 hektar, sepuluh tahun kemudian menyusut dan tersisa 2.373
hektar. Lahan pertanian berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman, hotel,
restoran dan sektor bisnis lainnya[5]”.
Jika demikian maka, dapat diproyeksikan bahwa, sepuluh tahun kedepan lahan
pertanian akan semakin terkikis dan jumlah petani akan semakin berkurang akibat
kehilangan lahan pertanian atau kebijakan subsitensi yang akut terjadi di Kota
Batu.
Potret Pengelolaan pajak Dearah Kota Batu
Sekalipun
trand PAD pada sektor Pajak Daerah terlihat meningkat selama beberapa tahun
belakangan (2014-2017), akan tetapi dari hasil kajian dan analisis Malang Corruption Watch (MCW)
terhadap pengelolaan pajak daeah Kota Batu menunjukan adanya
kondisi insignifikansi antara penerimaan PAD yang diperoleh dari disektor pajak
daerah dengan sejumlah potensi daerah yang dimiliki.
Tren tahunan pajak daerah
2013-2017
Sebagai kota
pariwisata, sebagian besar wisatawan banyak mengunjungi beberapa tempat
berikut, diantaranya:

Berdasarkan data diatas, maka dapat kita lihat bahwa 5
sektor penerimaan pajak daerah terbesar dalam 5 tahun terakhir adalah
penerimaan pada BPHTB (Bea Pajak Hasil Tanah dan Bangunan), disusul Pajak Hotel, PBB, Pajak Hiburan, dan Pajak Penerangan Jalan. Sementara untuk pajak
parkir, pajak air bawah tanah dan pajak reklame terbilang sangat minim.
Meski demikian, lima sektor pajak terbesar sebagaimana dijelaskan pada
grafik diatas masih menyisahkan berbagai persoalan dibelakangannya yang justeru
mengindikasikan adanya ketidak wajaran antara jumlah PAD yang diperoleh dengan
potensi ril yang dimiliki oleh Kota Batu serta berbagai piutang pajak yang
mengendap selama beberapa tahun belakangan. misalnya:
1.
Piutang yang bermasalah
a.
Ketidakjelasan Status
Piutang Pajak
Dalam LHP LKPD Kota Batu tahun 2014, disebutkan bahwa terdapat piutang pajak hiburan yang tidak diakui oleh
WP sebesar Rp 24.555.376.610 (sudah diterbitkan SKPDKB). Berikut adalah daftar
piutang yang tidak diakui:
No.
|
Wajib Pajak
|
Nilai Piutang
|
1
|
TR BNS
|
3.786.756.542
|
2
|
TR JP I
|
14.529.110.974
|
3
|
TR JP II
|
5.832.045.867
|
4
|
TR Se
|
167.648.227
|
5
|
Panti Pijat DGD
|
239.815.000
|
TOTAL
|
24.555.376.610
|
Tabel 1.1 Daftar piutang
tidak diakui[6]
Tidak hanya menjadi
temuan dalam LHP BPK tahun 2014, ini juga kembali menjadi temuan BPK tahun
2017. Bahkan nominalnya semakin bertambah menjadi sebesar Rp 25.710.560.884[7].
b.
Piutang macet dan tidak
dapat tertagih
LHP
LKPD
Kota Batu 2015 juga menjelaskan beberapa
piutang yang menurut pemerintah merupakan piutang yang macet dan tidak dapat
ditagih. Seperti pada tabel berikut:
Jenis pajak
|
Tahun
|
Nilai Piutang
|
Kategori
|
Pajak
restoran, pajak hiburan, dan pajak parkir (JTP Group)
|
2004-2009
|
4.780.570.826
|
Macet
|
Pajak
hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak parkir
|
2010-2014
|
19.930.908.141
|
Tidak
Dapat Ditagih
|
TOTAL
|
24.711.478.967
|
Table
1.2. Daftar Piutang Macet dan Tidak Dapat Ditagih per Desember 2015[8]
Berdasarkan
hasil konfirmasi BPK, pemerintah telah melakukan upaya penagihan piutang pajak
yang macet dan tidak tertagih diatas kepada JTP 1, JTP II, Hotel PI, dan BNS,
namun tidak mendapatkan respon sebagaimana mestinya. Kota Batu juga belum
memiliki prosedur yang jelas untuk melakukan verifikasi, validasi, dan
penyelesaian piutang pajak. Sehingga piutang tersebut belum mempunyai pola
penyelesaian yang jelas.[9]
Jika
memang pemerintah yang dalam hal ini Dispenda yakin bahwa piutang sebesar 24,7
Miliar itu merupakan miliknya, seharusnya pemerintah melakukan upaya-upaya
penegakan hukum seperti yang diamanatkan dalam Perda No. 6 tahun 2010 jo. Perda
No. 2 tahun 2012 tentang Pajak Hiburan. Upaya-upaya penagihan melaui surat
teguran, surat paksa, bahkan penyitaan dapat dilakukan oleh Dispenda untuk
menyelesaikan ketidakjelasan status piutang pajak ini.
Pengklasifikasian
piutang macet dan tidak dapat ditagih oleh Dispenda juga tidak sesuai dengan
Peraturan Walikota Nomor 46 Tahun 2014 bahwa piutang dapat dikatakan macet
apabila memiliki kriteria sebagai berikut:
a.
umur piutang diatas 5 (lima)
tahun
b.
wajib pajak tidak ditemukan
c.
wajib pajak bangkrut/meninggal
dunia
d.
wajib pajak mengalami
musibah (force majeure)
Berdasarkan kriteria tersebut, objek pajak yang
digolongkan sebagai piutang macet oleh Dispenda hanya memenuhi 1 kriteria saja,
yaitu usia piutang yang diatas 5 tahun. Sementara alasan lain yang digunakan
oleh Dispenda adalah adanya perbedaan pengakuan piutang dengan WP. Tentu alasan
ini tidak dapat dijadikan alasan mengenai pengklasifikasian piutang macet dan
tidak tertagih.
Dampak dari pengklasifikasian piutang ini tentu
saja berimplikasi pada upaya penagihan, seharusnya Dispenda Kota Batu lebih
mengutamakan untuk melakukan upaya-upaya paksa, bahkan sita terhadap WP yang
tidak taat pajak. Akan tetapi yang terjadi selama ini adalah pembiaran terhadap
piutang macet dan tidak dapat ditagih itu. Hal ini terlihat dari jumlah piutang
pajak hiburan yang berusia 2 sampai lebih dari 5 tahun meningkat hingga
mencapai angka Rp 26.077.745.311[10].
c.
Perpindahan wewenang
pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan
Mulai
awal tahun 2013, Pemerintah Kota Batu mengambil alih kewenangan pengelolaan
PBB-P2 Kota Batu. Hal ini sejalan dengan Peraturan Bersama Menteri Keuangan Dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 Tentang
Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
sebagai Pajak Daerah, bahwa paling lambat desentralisasi dilakukan di awal
tahun 2014. Atas desentralisasi tersebut, pemerintah Kota Batu menerima
limpahan daftar piutang PBB dari KPP Pratama Kota Batu.
Hal
yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa Pemerintah Kota Batu belum
memvalidasi data piutang PBB senilai 14.764.577.225. Dimana nilai piutang
tersebut merupakan akumulasi piutang PBB sejak tahun 1996. Pada tahun 2014,
masalah ini juga belum dituntaskan.[11]
Terdapat beberapa permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan PBB ini, antara
lain:
1.
Perbedaan saldo awal nilai
piutang BAST dengan SISMIOP
Dalam lampiran BAST
(Berita Acara Serah Terima) Data Piutang PBB–P2 dan Aset Sitaan dari KPP
Pratama Kota Batu Nomor BA-4/WPJ.12/KP.04/2013 nilai Piutang PBB-P2 per 31
Desember 2012 sebesar 14.764.577.225.
sementara dalam Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak (SISMIOP)
tercatat sebesar 18.813.864.677. Dalam hal ini, Dispenda tidak dapat
menjelaskan rincian masing-masing NOP (Nomor Objek Pajak) yang sudah atau belum
membayar, karena selama ini masyarakat membayar PBB secara umum kepada pemerintah desa/kelurahan.
2.
Perbedaan nilai piutang PBB
pada neraca dengan SISMIOP per Desember 2014
Menurut pengakuan
Kepala Dispenda, pihaknya belum dapat menelusuri selisih tersebut karena belum
melakukan validasi dan verifikasi.
3.
Tim pendataan PBB tidak
maksimal
Untuk menyelesaikan
masalah PBB-P2, Dispenda membentuk Tim Pendataan Ulang dan Verifikasi Pajak
Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Pelimpahan dari KPP Pratama Kota Batu
yang ditetapkan oleh Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Nomor
180/154/KEP/422.111/2015 pada tanggal 2 Juli 2015. Tim tersebut bertugas
memverifikasi piutang PBB tahun 2008-2012. Berikut adalah hasil dari validasi
dan verifikasi atas piutang PBB.
Tahun
|
Data Piutang PBB
SISMIOP (Rp)
|
Hasil Verifikasi dan
Validasi Berd. Data Desa (Rp)
|
Selisih
|
2008
|
769.361.944
|
592.528.500
|
176.883.444
|
2009
|
1.309.391.969
|
792.131.524
|
517.260.445
|
2010
|
1.685.131.353
|
1.137.186.572
|
547.944.781
|
2011
|
2.087.264.754
|
1.465.953.911
|
621.310.843
|
2012
|
3.656.801.789
|
1.820.105.345
|
1.836.696.444
|
JUMLAH
|
9.507.951.809
|
5.807.905.852
|
3.700.045.957
|
Sumber: LHP BPK kota Batu
Tahun 2008-2012
Dalam data tersebut masih terdapat selisih sebesar 3,7
Miliar. Selisih tersebut belum dapat dipastikan mengenai kejelasannya karena
Kepala Bidang Penagihan masih dalam proses penagihan dan pengumpulan
buktipembayaran PBB dari wajib pajak.
4.
Pemungutan PBB tidak Optimal
Dalam
hal penyampaian SPPT, Dinas Pendapatan dapat dibantu oleh petugas kecamatan,
kelurahan/desa, RW, atau RT. Hal ini juga yang telah dilakukan oleh Dinas
Pendapatan, akan tetapi dalam praktiknya kurang optimal. Kepala Seksi Penagihan
Dispenda, Kepala Seksi Pemerintahan dan Petugas PBB Kelurahan Sisir dan
Perangkat Desa Sumberejo menjelaskan beberapa masalah berikut:
a.
Adanya perbedaan data
pembayaran antara warga dengan KPP. Ada yang bisa menunjukkan bukti pembayaran,
namun ada juga yang tidak dapat menunjukkannya. Pihak desa juga menyampaikan
bahwa ada desa yang telah lunas pembayaran PBB ke KPP Pratama. Atas hal
tersebut, ternyata KPP Pratama menjelaskan bahwa lunas ada tiga, yaitu lunas
baku, lunas pokok, dan lunas target, akan tetapi untuk hal tersebut KPP Pratama
tidak menjelaskan lebih lanjut ke Dispenda.
b.
Dispenda tidak memiliki
rincian atas beberapa SPPT yang tidak sesuai. Misalnya obyek pajak yang
tercantum dalam SPPT tidak ada, SPPT untuk fasilitas umum Kota Batu, luas tanah
dalam SPPT berbeda dengan yang sesungguhnya, dan SPPT yang double atas objek pajak yang sama.
c.
Banyaknya pemilik tanah yang
berasal dari luar Kota Batu mempersulit perangkat desa untuk menyampaikan SPPT
d.
Ada tanah yang penjualannya
tidak dilaporkan kepada perangkat desa, sehingga pemilik tanah yang baru tidak
diketahui perangkat desa.
Dengan demikian maka,
dapat dipastikan bahwa persoalan Pajak PBB di Kota Batu masih banyak
menyisahkan kejanggalan, dan ketidak jelasan dalam pengelolaannya sebagai salah
satu sumber pendapatan daerah. disisi lain, jika mengacu pada nilai piutang
yang mengendap, trennya selalau meningkat dalam beberapa tahun terkahir, Bahkan
hingga akhir tahun 2017 piutang pajak PBB mencapai angka Rp 31.3 milliyar.
Berikut adalah rincian piutang pajak PBB selama 5 tahun terakhir (2013-2017).
Tabel,
Tren piutang PBB Kota Batu dari tahun 2013-2107
No
|
Tahun
|
Piutang
|
2013
|
Rp 2.180.186.079
|
|
2014
|
Rp 3.688.562.551
|
|
2015
|
Rp
21.172.138.776
|
|
2016
|
Rp
26.395.847.022
|
|
2017
|
Rp
31.377.751.191
|
Sumber: LHP-BPK Kota Batu tahun 2017
Dugaan Penyelewengan atas Dana Hasil Setoran PBB di Desa
Sumberejo.
Berdasarkan
hasil aduan masyarakat Desa Sumberejo, Kecamatan Batu Kota Batu pada tanggal 31
Agustus 2018 lalu, menyampaikan bahwa adanya dugaan penyelwengan dana PBB dari
hasil setoran warga yang dilakukan oleh pemerintah Desa. berdasarkan keterangan
yang disampaikan oleh beberapa warga Desa Sumberejo bahwa, sesungguhnya warga
Desa sangat aktif dalam melaksanakan kewajiban pajaknya dengan menyetor kepada
petugas pemungutan PBB yang ditugaskan oleh Pemerintah Desa. akan tetapi, hasil
setoran tersebut justeru tidak ditindaklanjuti dengan baik dan benar oleh
pemerintah Desa kepada pemerintah Kota sehingga, dalam catatan Dispenda Kota
Batu Justeru tidak tercatat sebagai pendapatan pajak yang diperoleh dari
setoran wajib pajak. Hal tersebut diketahui dari beberapa keterangan warga dan
bukti prinan dari Dispenda Kota Batu tentang data pajak warga Desa Sumberejo
yang menerangkan bahwa terdapat sejumlah warga yang tidak menyetorkan kewajiban
pajaknya selama tujuh (7) tahun (2010-2017) bertut-turut sehingga berpotensi
merugikan warga Desa Sumberejo (wajib pajak) dan mengurangi pendapatan Asli
daerah Kota Batu.
Belajar dari Kabupaten Badung
Sebagai
pembanding, tidak bermaksud untuk menegasikan atau menghilangkan kewenangan
otononi daerah pemkot Batu dalam hal pengelolaan sumberdaya dan mengatur urusan
rumah tangga termasuk pengelolaan kekayaan daerahbya. Akan tetapi, pada poin
ini semata-mata dilakukan untuk melihat keterkaitan dan kesamaan kebijakan
pariwisata sebagai strategi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemandirian
keuangan daerah. dilain sisi, tujuan perbandingan ini dimaksudkan untuk
memunculkan berbagai contoh baik dalam pengelolaan pajak Daerah.
Secara umum,
kabupaten badung memliki kesamaan geografis dan kekayaan alam yang mirip dengan
Kota Batu. selain itu, pada konteks kebijakan pembangunan juga mirip,
masing-masing mendengungkan pariwisata sebagai salah satu kebijakan strategis
untuk mendorong peningkatan PAD daris sektor pariwisata dan hiburan. Namun yang
menarik dari kedua daerah ini adalah, kabupaten badung mampu dengan cepat
mendongkrak PAD-nya melalui kebijakan pariwisata, sementara Kota Batu relative
tidak maksimal dalam implementasinya. Selain itu, salah satu keunggulan dari
Kebijakan pariwisata kabupaten Badung adalah memperbanyak wisata Ekologi dan
budaya sebagai sektor unggulan yang dapat menarik perhatian para penghunjung
baik dalam maupun luar Negeri. Termasuk memanfaatkan berbagai komponen
pariwisata seperti perhotelan/penginapan, dan Restoran sebagai sumber PAD,
bahkan kedua komponen tersebut menjadi sektor yang banyak menyumbang terhadap
PAD kabupaten Badung.
Rata-rata PAD kabupaten badung secara
signifikan meningkat dari tahun ke tahun. Terhitung, pada tahun 2013,
penerimaan PAD sebersar Rp 2 Triliun dan naik menjadi 2.4 Triliun di tahun 2014
(baca;Tribun Bali:selasa, 1/04/2015), Selanjutnya, pada tahun 2017 PAD
Kabupaten badung secara signifikan naik menjadi 4.7 Triliun, bahkan akan
ditargetkan dalam KUA PPAS 2018 sebesar 5.7 Triliun. Sektor yang paling besar
menyumbang terhadap PAD Kabupaten Badung adalah sektor pajak dan Retribusi
daerah. utamanya, untuk pajak Hotel dan Restroran hingga pada tahun 2017, mampu
menyumbang terdahap PAD sebesar 2 triliun, (baca: AntaraNews: selasa,
18/07/2017). Keberhasilan semcam ini sudah pasti dipengaruhi oleh banyak hal
termasuk bagaimana memanfaatkan beberapa sektor di bawah ini.
Jumlah hotel.
Berdasarkan data BPS kabupaten badung tahun 2015, jumlah
hotel dengan kategori bintang dari tahun 2011- 2015 sebanyak 155 hotel dengan
jumlah kamar sebanyak 24.683 kamar. berikut rinciannya.
Tabel
Jumlah Hotel Bintang dan Kamar Tersedia di Kabupaten Badung dari tahun
2011-2015
No
|
Fasilitas akomodasi
|
Hotel bintang
|
|||||
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
||
Jumlah akomodasi
|
98
|
98
|
98
|
98
|
155
|
155
|
|
Jumlah kamar
|
16.360
|
16.360
|
16.360
|
16.360
|
24.683
|
24.683
|
Sumber Data
BPS kabupaten badung tahun 2015
jumlah objek wisata
berdasarkan data badung dalam angka tahun 2017, jumlah
objek wisata yang tersedia sebanyak 36 tempat wisata dengan jenis dan
lokasinya. Dari 36 objek wisata yang tersedia, jenis wisata alam dan budaya
masih menjadi ciri khas yang dominan dari keseluruhan jumlah objek wisata yang
tersedia. Berikut rinciannya.
No
|
Jenis wisata
|
Jumlah
|
1
|
Wisata alam
|
25
|
2
|
Wisata budaya
|
7
|
3
|
Wisata buatan
|
1
|
4
|
Wisata alam &
buatan
|
1
|
5
|
Wisata alam dan
satwa
|
1
|
6
|
Wisata remaja
|
1
|
Total
|
26
|
Sumber; badung dalam angka 2017
jumlah penghunjung :
dari data yang dihimpun melalui badung dalam angka tahun
2017 diterangkan bahwa, jumlah kunjungan wisata sepanjang tanun 2013-2016
sebagai berikut.
No
|
Jenis kunjungan
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
Nusantara
|
590.178
|
482.147
|
462.808
|
877.660
|
Sumber: kabupaten Badung dalam angka 2017
jumlah restoran:
jumlah restoran kabupaten Badung selama tahun
2114-2016 sebagaimana diterangkan
pada data badung dalam angka tahun 2017
adalah sebagai berikut.
No
|
Tahun
|
Jumlah restoran
|
Jumlah kursi
|
1
|
2014
|
668
|
50.207
|
2
|
2015
|
805
|
66.575
|
3
|
2016
|
966
|
86.388
|
Sumber: kabupaten Badung dalam angka 2017
Tarif pajak berdasarkan jenis pajak
daerah Kabupaten badung adalah sebagai berikut.
No
|
Jenis Pajak daerah
|
Tarif Pajak
|
Dasar Hukum
|
1
|
Pajak Hotel
|
10 %
|
Pasal 6 perda
nomor 15 tahun 2011 tentang pajak Hotel
|
2
|
Pajak restoran
|
10%
|
Pasal 6 perda
nomor 16 tahun 2011 tentang pajak restoran
|
3
|
Pajak Hiburan
|
10%
|
Pasal 6 perda
nomor 22 tahun 2011 tentang pajak hiburan
|
Sumber: kabupaten Badung dalam angka 2017
Tentu
kondisi diatas patut diapresiasi dan di contohi oleh banyak daerah terkhusus
pemerintah Kota Batu. salah satu unsur penting dari keberhasilan Pemkab Badung
dalam mengelola potensi daerah untuk mendongkrak PAD adalah selain karena
kualitas dan kompetensi SDM aparatur pemerintahan daerah, juga dipengaruhi
dengan kuatnya penerapan nilai dan prinsip Good
Dofenrnance sebagai dasar implementasi tugas dan tanggungjawabnya secara
akuntabel, dan transparan. Selain itu, kebijakan daerah Kabupaten badung
tentang pengelolaan Pajak Daerah secara online sebagaimana diformulasikan
melalui perda nomor 2 tahun 2016 tentang
sistem Online pajak Daerah juga turut mendukung penyelenggaraan pajak daerah
yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Maka tidak heran jika, Pemkab
Badung mampu secara maksimal mengelola kekayaan daerahnya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan Kota Batu, yang terjadi justeru
memunculkan berbagai kejanggalan-kejanggalan yang mengarah pada buruknya
pengelolaan pajak daerah. Berikut adalah catatannya.
Jumlah Hotel di Kota batu
Berdasarkan hasil penelusuran MCW pada Dokumen Batu dalam angka tahun
2017 diterangkan bahwa, jumlah hotel di Kota batu dari tahun 2014 sebanyak 500,
dan naik menjadi 550 hotel pada tahun 2015 dan 2016. Termasuk jumlah kamar
Hotel juga meningkat dari dalam kurung waktu tiga tahun terakhir (2014-2016).
berikut adalah rinciannya.
Tabel,
Indicator perhotelan kota batu 2014-2016
No
|
Uraian
|
2014
|
2015
|
2016
|
1
|
Jumlah hotel
|
500
|
550
|
550
|
Jumlah kamar
|
5.484
|
6.066
|
6.066
|
Sumber;
Kota Batu dalam angka tahun 2017
Jumlah titik pajak parkir Kota Batu
sementara untuk pajak parkir, sejauh ini baru ada 20an titik pajak
parkir yang dikelola (belum termasuk yang tidak teridentifikasi sebagai sumber
PAD) dan sudah menyumbang terhadap PAD sebesar Rp 1.1 Milliyar pada tahun 2016
dan naik sebesar Rp 1.5 Milliyar di tahun 2017, (baca:malangVoice; 7.01.2017). sehingga, besar kemungkinan terdapat
banyak titik pajak parkir yang belum termonitor oleh pemkot Batu. hal itu juga
yang mempengaruhi mengapa pendapatan pajak parkir relative rendah. sebab, jikan
mengacu pada penjelasan pasal 2 ayat 2 perda Kota batu nomor 2 tahun 2010
tentang pajak parkir, sangat jelas menerangkan bahwa “Obyek
pajak adalah penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan,
baik yang disediakan dengan pokok usaha maupun yang disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor” artinya, pada kondisi ril, kota batu memili berbagai objek
usaha, baik objek wisata, hiburan, restoran, hotel dll yang secara otomatis
menyediakan fasilitas parkir. Maka patut dipertanyakan, apakah benar nilai
Pendapat pajak parkir tahun 2017 sebesar
1.5 Milliyar adalah hasil pengelolaan dari 20an titik parkir saja atau
justeru lebih namun pengelolaannya tidak terbuka.
Jumlah objek Wisata kota Batu
Sejauh ini, pemkot Batu memiliki sejumlah objek wisata yang dikelola.
Berdasarkan data Kota Batu dalam angka tahun 2017, jumlah objek wisata kota
Batu sebanyak 25 objek wisata. Dari keseluruhan objek wisata yang tersedia,
rata-rata wisatawan yang berkunjung relative banyak. Setidaknya, pada tahun
2016, jumlah kunjungan wisatawan Kota Batu mencapai 506.583 jiwa. Angka tersbut
lebih banyak dari jumlah penghunjung sebelumnya yakni tahun2015 sebanyak
275.575 pengunjung. Maka terjadi peningkatan jumlah pengunjung pada tahun 2016
sebanyak 231.008 jiwa. Jumlah tersebut jika dikaitkan dengan tariff pajak
hiburan sebagaimana diatur dalam pasal 6 huruf e dan f perda kota Batu nomor 2
tahun 2012 tentang pajak hiburan bahwa “ tarif pajak untuk pameran termasuk
pameran taman wisata buatan dikenakan tariff sebesar 10% dan 7.5% untuk
pendidikan taman wisata”. maka, pemkot batu semestinya bisa memperoleh
pendapatan lebih pada disektor pajak Hiburan. Karena jika dibandingkan,
perbedaan jumlah wisata kota batu dengan Kabupaten badung hanya selisih 1
angka. Kota Batu dengan jumlah 25 objek wisata, sementara kabupaten badung 26
objek wisata yang sama-sama dikelolan sebagai sumber Pendapatan. Tapi
pertanyaanya, mengapa pemkab Badung bisa memperoleh pendapatan lebih sementara
Kota Batu tidak?
Tarif pajak berdasrkan jenis pajak daerah Kota
Batu.
No
|
Jenis Pajak daerah
|
Tarif Pajak
|
Dasar Hukum
|
1
|
Pajak parkir
|
30 %
|
Pasal 6 perda
nomor 2 tahun 2010 tentang pajak parker
|
2
|
Pajak hotel
|
10%
|
Pasal 6 perda
nomor 5 tahun 2010 tentang pajak hotel
|
3
|
Pajak Hiburan
|
dari 5%-25%
|
Pasal 6 perda
nomor 2 tahun 2012 tentang pajak hiburan
|
Pajak restoran
|
10%
|
Pasal 6 perda
Nomor 3 Tahun 2010
|
Artinya, ada kesamaan antara Kabupaten badung Dengan Kota batu dalam
hal penetapan tarif pajak pada beberpa jenis pajak seperti pajak hotel, pajak
hiburan, dan pajak restoran. Masing-masing dengan besaran tarif adalah 10% dari
setiap penyelenggaraan objek pajak. Akan tetapi, yang menajdi persoalan adalah
apakah dalam tahap implementasi, Kota Batu melakukan upaya penegakan yang sama
seperti yang terjadi di Kabupaten badung atau malah sebaliknya. Karena Kab.
Badung dengan segala kebijakan pajaknya, dapat mendorng pelaksanaan pajak
daerah yang adil dan memberi dampak ekonomis yang besar bagi PAD Kabupaten
Badung.
Kesimpulan dan Rekomendasi.
Berdasarkan hasil
analisis atas berbagai persoalan diatan maka dapata disimpulkan bahwa, sistem
pengelolaan keuangan daerah khususnya pada konteks pengelolaan PAD sangat buruk
dan cenderung budgetary slack (kesenjangan anggaran) yang terlihat dari
perencanaan tidak berbasis potensi daerah, pelaksanaan relative tidak mencapai
target atau jika mencapai itu adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi
kemampuan kerja birokrasi semata, dilain sisi penindakan terhadap berbagai
persoalan piutang cenderung lemah dan terindikasi pembiaran serta sistem
evaluasi yang tidak komprehensif sehingga tidak memumculkan proyeksi dan
strategi yang relevan dilakukan untuk meminilasir atau menyelesaikan berbagai
persoalan di atas. rendahnya integritas dan akuntabilitas para pejabat daerah
dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan kewenang juga berpengaruh terhadap
signifikan terhadap rendahnya PAD pada sektor Pajak dan Retirbusi Daerah. oleh
karenanya, Malang Corruption Watcah (MCW) Merekomendasikan Beberapa Hal sebagai
berikut:
1.
Pemerintah Kota Batu dalam Hal ini Walikota, Dispenda, dan Dinas
Pariwisata Segere melakukan upaya penindakan tegas atas piutang Pajak Hiburan
dan Meminta Kepada WP untuk segera membayar piutangnya sebagai bentuk
pertanggungjawab atas usaha wisata hiburan yang beroperasi di Kota Batu.
2.
mendesak pemerintah Kota Batu untuk komitmen dan konsisten terhadap
setiap kebijakan daerah termasuk Kebijakan Pajak dan retribusi daerah yang
telah diduga tidak dilaksanakan dengan baik sehingga berimplikasi terhdap
besarnya jumlah piutang pajak dan rertibusi pada satu sisi, dan rendah serta
bocornya Pendapatan pajak dan retribusi daerah pada sisi yang lain.
3.
bahwa pemerintah Kota Batu baik eksekutif maupun legislative adalah
lembaga yang memiliki kewenangan dan kekuasaan atas pengelolaan anggaran daerah
termasuk pengelolaan pajak dan retribusi sebagai pendapatan Daerah. sehingga
dalam pelaksanaanya, pemerintah bersama DPRD tidak boleh membiarkan atau mau
diintervensi oleh siapapun termasuk sektor usaha yang bertujuan untuk
menangguhkan piutang pajak yang nyata-nyatanya telah merugikan pemerintah Kota
batu.
[1]
BPS Kota Batu dalam angka 2017
[2]
Relevansi PAD dengan pertumbuhan Ekonomi (2016)
[3]
Relevansi PAD terhadap Pertumbuhan ekonomi (2016)
[4]
Deni JS, (2017) “peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan di
tingkat Provinsi di Indonesia 2004-2012
[5]
Baca kompas.co.id batu (2015) “sensus pertanian Kota Batu tahun 2013
[6]
Buku II LHP LKPD Kota Batu 2014 hal.
6
[7]
LHP LKPD Kota Batu hal. 160
[8]
Catatan Atas Laporan Keuangan LHP
LKPD Kota Batu 2015 hal. 161
[9]
Buku II LHP LKPD hal. 9
[10]
LHP LKPD Kota Batu 2017
Comments
Post a Comment